RUANG LINGKUP BISNIS SYARIAH
Posted on Senin, 11 Juni 2012
|
Comments Off
PENGERTIAN BISNIS SYARIAH
Secara
bahasa, Syariat (al-syari’ah) berarti sumber air minum (mawrid al-ma’ li al
istisqa) atau jalan lurus (at-thariq al-mustaqîm). Sedang secara istilah
syariah bermakna perundang-undangan yang diturunkan Allah Swt melalui
Rasulullah Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia baik menyangkut masalah
ibadah, akhlak, makanan, minuman pakaian maupun muamalah (interaksi sesama
manusia dalam berbagai aspek kehidupan) guna meraih kebahagiaan di dunia dan di
akhirat.
Menurut
Syafi’I Antonio, syariah mempunyai keunikan tersendiri, syariah tidak saja
komprehensif, tetapi juga universal. Universal bermakna bahwa syariah dapat diterapkan dalam setiap waktu dan
tempat oleh setiap manusia. Keuniversalan ini terutama pada bidang sosial
(ekonomi) yang tidak membeda-bedakan antara kalangan Muslim dan
non-Muslim.(syariah marketing, Hal. 169).
RUANG LINGKUP BISNIS SYARIAH
Ada empat prinsip (aksioma) dalam ilmu
ikonomi Islam yang mesti diterapkan dalam bisnis syari’ah, yaitu: Tauhid
(Unity/kesatuan), Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium), Kehendak Bebas
(Free Will), dan Tanggung Jawab (Responsibility).
Tauhid mengantarkan manusia pada pengakuan
akan keesaan Allah selaku Tuhan semesta alam. Dalam kandungannya meyakini bahwa
segala sesuatu yang ada di alam ini bersumber dan berakhir kepada-Nya. Dialah
pemilik mutlak dan absolut atas semua yang diciptakannya. Oleh sebab itu segala
aktifitas khususnya dalam muamalah dan bisnis manusia hendaklah mengikuti
aturan-aturan yang ada jangan sampai menyalahi batasan-batasan yang telah
diberikan.
Keseimbangan atau kesejajaran
(Equilibrium) merupakan konsep yang menunjukkan adanya keadilan sosial.
Kehendak bebas (Free Will) yakni manusia mempunyai suatu potensi dalam
menentukan pilihan-pilihan yang beragam, karena kebebasan manusia tidak
dibatasi. Tetapi dalam kehendak bebas yang diberikan Allah kepada manusia
haruslah sejalan dengan prinsip dasar diciptakannya manusia yaitu sebagai
khalifah di bumi. Sehingga kehendak bebas itu harus sejalan dengan kemaslahatan
kepentingan individu telebih lagi pada kepentingan umat.
Tanggung Jawab (Responsibility) terkait
erat dengan tanggung jawab manusia atas segala aktifitas yang dilakukan kepada
Tuhan dan juga tanggung jawab kepada manusia sebagai masyarakat. Karena manusia
hidup tidak sendiri dia tidak lepas dari hukum yang dibuat oleh manusia itu
sendiri sebagai komunitas sosial. Tanggung jawab kepada Tuhan tentunya diakhirat,
tapi tanggung jawab kepada manusia didapat didunia berupa hukum-hukum formal
maupun hukum non formal seperti sangsi moral dan lain sebagainya.
Sementara menurut Beekun terdapat 5
aksioma dalam ekonomi islam. Sebagai yang kelima adalah benovelence atau dalam
istilah lebih familiar dikenal dengan Ihsan. Ihsan adalah kehendak untuk
melakukan kebaikan hati dan meletakkan bisnis pada tujuan berbuat kebaikan.
Kelima prinsip tersebut secara operasional perlu didukung dengan suatu etika
bisnis yang akan menjaga prinsip-prinsip tersebut dapat terwujud.
Perbedaan etika bisnis syariah dengan
etika bisnis yang selama ini dipahami dalam kajian ekonomi terletak pada
landasan tauhid dan orientasi jangka panjang (akhirat). Prinsip ini dipastikan
lebih mengikat dan tegas sanksinya. Etika bisnis syariah memiliki dua cakupan.
Pertama, cakupan internal, yang berarti perusahaan memiliki manajemen internal
yang memperhatikan aspek kesejahteraan karyawan, perlakuan yang manusiawi dan
tidak diskriminatif plus pendidikan. Sedangkan kedua, cakupan eksternal
meliputi aspek trasparansi, akuntabilitas, kejujuran dan tanggung jawab.
Demikian pula kesediaan perusahaan untuk memperhatikan aspek lingkungan dan
masyarakat sebagai stake holder perusahaan.
Abdalla Hanafi dan Hamid Salam, Guru Besar
Business Administration di Mankata State Univeristy menambahkan cakupan berupa
nilai ketulusan, keikhlasan berusaha, persaudaraan dan keadilan. Sifatnya juga
universal dan bisa dipraktekkan siapa saja. Etika bisnis syariah bisa
diwujudkan dalam bentuk ketulusan perusahaan dengan orientasi yang tidak hanya
pada keuntungan perusahaan namun juga bermanfaat bagi masyarakat dalam arti
sebenarnya. Pendekatan win-win solution menjadi prioritas. Semua pihak
diuntungkan sehingga tidak ada praktek “culas” seperti menipu masyarakat atau
petugas pajak dengan laporan keuangan yang rangkap dan lain-lain. Bisnis juga
merupakan wujud memperkuat persaudaraan manusia dan bukan mencari musuh. Jika
dikaitkan dengan pertanyaan di awal tulisan ini, apakah etika bisnis syariah
juga bisa meminimalisir keuntungan atau malah merugikan ?. Jawabnya tergantung
bagaimana kita melihatnya. Bisnis yang dijalankan dengan melanggar
prinsip-prinsip etika dan syariah seperti pemborosan, manipulasi,
ketidakjujuran, monopoli, kolusi dan nepotisme cenderung tidak produktif dan
menimbulkan inefisiensi.
Etika yang diabaikan bisa membuat
perusahaan kehilangan kepercayaan dari masyarakat bahkan mungkin dituntut di
muka hukum. Manajemen yang tidak menerapkan nilai-nilai etika dan hanya
berorientasi pada laba (tujuan) jangka pendek, tidak akan mampu bertahan
(survive) dalam jangka panjang. Jika demikian, pilihan berada di tangan kita.
Apakah memilih keuntungan jangka pendek dengan mengabaikan etika atau memilih
keuntungan jangka panjang dengan komit terhadap prinsip-prinsip etika –dalam
hal ini etika bisnis syariah-.
CIRI KHAS BISNIS SYARIAH
Bisnis syariah merupakan
implementasi/perwujudan dari aturan syari’at Allah. Sebenarnya bentuk bisnis
syari’ah tidak jauh beda dengan bisnis pada umumnya, yaitu upaya
memproduksi/mengusahakan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan konsumen.
Namun aspek syariah inilah yang membedakannya dengan bisnis pada umumnya.
Sehingga bisnis syariah selain mengusahakan bisnis pada umumnya, juga
menjalankan syariat dan perintah Allah dalam hal bermuamalah. Untuk membedakan
antara bisnis syariah dan yang bukan, maka kita dapat mengetahuinya melalui
ciri dan karakter dari bisnis syariah yang memiliki keunikan dan ciri
tersendiri. Beberapa cirri itu antara lain:
1. Selalu Berpijak Pada Nilai-Nilai Ruhiyah. Nilai ruhiyah adalah
kesadaran setiap manusia akan eksistensinya sebagai ciptaan (makhluq) Allah
yang harus selalu kontak dengan-Nya dalam wujud ketaatan di setiap tarikan
nafas hidupnya. Ada tiga aspek paling tidak nilai ruhiyah ini harus terwujud ,
yaitu pada aspek : (1) Konsep, (2) Sistem yang di berlakukan, (3) Pelaku
(personil).
2. Memiliki Pemahaman Terhadap Bisnis yang Halal dan Haram.
Seorang pelaku bisnis syariah dituntut mengetahui benar fakta-fakta (tahqiqul
manath) terhadap praktek bisnis yang Sahih dan yang salah. Disamping juga harus
paham dasar-dasar nash yang dijadikan hukumnya (tahqiqul hukmi).
3. Benar Secara Syar’iy Dalam Implementasi. Intinya pada masalah ini adalah ada kesesuaian antara teori dan praktek, antara apa yang telah dipahami dan yang di terapkan. Sehingga pertimbangannya tidak semata-mata untung dan rugi secara material.
4. Berorientasi Pada Hasil Dunia dan Akhirat. Bisnis tentu di lakukan untuk mendapat keuntungan sebanyak-banyak berupa harta, dan ini di benarkan dalam Islam. Karena di lakukannya bisnis memang untuk mendapatkan keuntungan materi (qimah madiyah). Dalam konteks ini hasil yang di peroleh, di miliki dan dirasakan, memang berupa harta.
5. Namun, seorang Muslim yang sholeh tentu bukan hanya itu yang jadi orientasi hidupnya. Namun lebih dari itu. Yaitu kebahagiaan abadi di yaumil akhir. Oleh karenanya. Untuk mendapatkannya, dia harus menjadikan bisnis yang dikerjakannya itu sebagai ladang ibadah dan menjadi pahala di hadapan Allah . Hal itu terwujud jika bisnis atau apapun yang kita lakukan selalu mendasarkan pada aturan-Nya yaitu syariah Islam.
3. Benar Secara Syar’iy Dalam Implementasi. Intinya pada masalah ini adalah ada kesesuaian antara teori dan praktek, antara apa yang telah dipahami dan yang di terapkan. Sehingga pertimbangannya tidak semata-mata untung dan rugi secara material.
4. Berorientasi Pada Hasil Dunia dan Akhirat. Bisnis tentu di lakukan untuk mendapat keuntungan sebanyak-banyak berupa harta, dan ini di benarkan dalam Islam. Karena di lakukannya bisnis memang untuk mendapatkan keuntungan materi (qimah madiyah). Dalam konteks ini hasil yang di peroleh, di miliki dan dirasakan, memang berupa harta.
5. Namun, seorang Muslim yang sholeh tentu bukan hanya itu yang jadi orientasi hidupnya. Namun lebih dari itu. Yaitu kebahagiaan abadi di yaumil akhir. Oleh karenanya. Untuk mendapatkannya, dia harus menjadikan bisnis yang dikerjakannya itu sebagai ladang ibadah dan menjadi pahala di hadapan Allah . Hal itu terwujud jika bisnis atau apapun yang kita lakukan selalu mendasarkan pada aturan-Nya yaitu syariah Islam.
Jika semua hal diatas dimiliki oleh
seorang pengusaha muslim, niscaya dia akan mampu memadukan antara realitas
bisnis duniawi dengan ukhrowi, sehingga memberikan manfaat bagi kehidupannya di
dunia maupun akhirat. Akhirnya, jadilah kaya yang dengannya kita bisa beribadah
di level yang lebih tinggi lagi.
مَنْ أَسْلَمَ فَلْيُسْلِمْ فيِ كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ
“Barangsiapa yang melakukan jual beli as-Salm hendaknya ia memesannya dalam
satu takaran atau timbangan serta dalam batas waktu yang jelas.”
Bisnis syari’ah sebagaimana bisnis pada
umumnya yang dibangun atas kerjasama berbagai pihak dalam mengembangkan
usahanya. Namun kerjasama dalam bisnis syari’ah tidak hanya dibangun atas dasar
keuntungan dan pertimbangan aspek duniawiyah saja, namun juga dibangun atas
dasar keridhoan Allah. Keridhoan Allah diperoleh melalui implementasi
prinsip-prinsip syariah dalam melaksanakan kerjasama bisnis.
Kerjasama dalam Islam disebut dengan
istilah syirkah. Kata syirkah dalam bahasa Arab secara terminologis berasal
dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhari’),
syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau
serikat. Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan
tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, dibaca
syirkah lebih fasih (afshah).[6] Sedangkan secara etimologis, syirkah berarti
mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi
dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya.[7] Adapun menurut makna syariat,
syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk
melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Islam adalah satu-satunya agama yang sempurna yang
mengatur seluruh sendi kehidupan manusia dan alam semesta. Kegiatan perekonomian
manusia juga diatur dalam Islam dengan prinsip illahiyah. Harta yang ada pada
kita, sesungguhnya bukan milik manusia, melainkan hanya titipan dari Allah swt
agar dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan umat manusia yang pada
akhirnya semua akan kembali kepada Allah swt untuk dipertanggungjawabkan.
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.
Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105:
Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu.
Karena kerja membawa pada keampunan, sebagaimana sabada Rasulullah Muhammad saw:
Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapat ampunan.
(HR.Thabrani dan Baihaqi)
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.
Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105:
Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu.
Karena kerja membawa pada keampunan, sebagaimana sabada Rasulullah Muhammad saw:
Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapat ampunan.
(HR.Thabrani dan Baihaqi)
TUJUAN BISNIS SYARIAH
Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam system Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
Seorang fuqaha asal Mesir bernama Prof.Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:
1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
3. Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa maslahah yang menjad puncak sasaran di atas mencaku p lima jaminan dasar:
· keselamatan keyakinan agama ( al din)
· kesalamatan jiwa (al nafs)
· keselamatan akal (al aql)
· keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
· keselamatan harta benda (al mal)
Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:
1. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
2. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
3. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
4. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja.
5. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
6. Seorang mulsim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
7. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
8. Islam melarang riba dalam segala bentuk.
Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam system Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
Seorang fuqaha asal Mesir bernama Prof.Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:
1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
3. Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa maslahah yang menjad puncak sasaran di atas mencaku p lima jaminan dasar:
· keselamatan keyakinan agama ( al din)
· kesalamatan jiwa (al nafs)
· keselamatan akal (al aql)
· keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
· keselamatan harta benda (al mal)
Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:
1. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
2. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
3. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
4. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja.
5. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
6. Seorang mulsim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
7. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
8. Islam melarang riba dalam segala bentuk.