PENYELESAIAN SENGKETA MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT 1982
Posted on Sabtu, 04 Agustus 2012
|
No Comments
Penyelesaian sengketa dalam hukum
laut sebelum Konvensi Hukum Laut 1982 dilakukan dalam kerangka penyelesaian
sengketa internasional pada umumnya. Dalam hal ini sengketa hukum laut
diselesaikan melalui mekanisme-mekanisme dan institusi-institusi peradilan
internasional yang telah ada, seperti Mahkamah Internasional.
Konvensi Hukum Laut 1982 telah
menyediakan suatu sistem penyelesaian sengketa yang sangat kreatif. Dilihat
dari perkembangan sistem peradilan internasional, mekanisme konvensi ini
merupakan yang pertama kali yang mengarahkan negara-negara peserta untuk
menerima prosedur memaksa (compulsory procedures). Dengan sistem konvensi maka
tidak ada lagi ruang bagi negara-negara pihak konvensi untuk menunda-nunda
sengketa hukum lautnya dengan bersembunyi di belakang konsep kedaulatan negara
karena konvensi secara prinsip mengharuskan negara-negara pihak untuk
menyelesaikan sengketanya melalui mekanisme konvensi, negara-negara pihak
konvensi dapat membiarkan suatu sengketa .
1. a.) Metode-metode penyelesaian sengketa –sengketa laut
secara damai dapat dibagi dalam klasifikasi
- Negoisasi
- Mediasi
- Konsilasi
- Arbitrasi
- Perang dan tindakan bersenjata non perang
- Retorsi
- Tindakan-tindakan pembalasan (repraisals)
- Blokade secara damai (Pacitic Blockade)
2.
Menurut mekanisme Konvensi,negara-negara pihak diberi
kebebasan yang luas untuk memilih prosedur yang diinginkan sepanjang itu
disepakati bersama. Prosedur dimaksud termasuk prosedur yang disediakan oleh
Pasal 33 paragraf 1 Piagam PBB, mekanisme regional atau bilateral, atau melalui
perjanjian bilateral.jika dengan prosedur tersebut tetap tidak dicapai
kesepakatan, maka para pihak wajib menetapkan segera cara penyelesaian sengketa
yang disepakati. Jika pada tahap ini masih tidak disepakati, maka para pihak
diwajibkan menjalankan prosedur sesuai dengan lampiran IV Konvensi yaitu
melalui Konsiliasi.
Akhirnya jika melalui prosedur di atas, para pihak tetap belum dapat
menyelesaikan sengketanya, maka diterapkan prosedur selanjutnya yaitu
menyampaikan ke salah satu badan peradilan yang disediakan oleh Konvensi, yaitu
:
-
Tribunal Internasional untuk Hukum Laut
-
Mahkamah Internasional
-
Tribunal Arbitrasi
Negara-negara pihak pada waktu menandatangani, meratifikasi atau menerima
Konvensi, atau pada waktu kapan saja, melalui suatu deklarasi dapat memilih
badan-badan peradilan di atas untuk mengadili sengketanya. Jika tidak ada
deklarasi dimaksud, maka negara pihak tersebut dianggap memilih Abitrase.
Suatu organisasi internasional yang menjadi pihak pada Konvensi juga
dapat memilih badan peradilan diatas, tetapi tidak dapat memilih Mahkamah
Internasional, karena menurut Statutanya, Mahkamah hanya memiliki jurusdiksi
untuk mengadili negara.
Melalui Konvensi Hukum Laut 1982, di bentuklah Tribunal Internasional
untuk Hukum Laut (internasional Tribunal for the Law of the Sea). Tribunal ini dibentuk pada tangal
1Agustus 1996 dan berkedudukan di Hambur, Jerman. Tujuannya adalah untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa berhubungan dengan interpretasi dan pelaksanaan
Konvensi. Dapatlah dikatakan bahwa pembentukan Tribunal ini mencerminkan bahwa
sengketa hukum laut ditempatkan pada suatu sistem tersendiri mengingat karakter
khusus yang dimiliki hukum laut. Tribunal mempunyai 21 hakim independen,
masing-masingnya dipilih untuk periode 9 tahun dan dibagi dalam 5 kamar
(Chambers) : the Chamber of Summary Procedure, the Chamber for Fisheries
Disputes, the Chamber for Marine Environmental Disputes, the Seabed Disputes
Chamber dan satu Kamar Khusus yang membahas masalah Conservation and
Sustainable Exploitation of Swordfish Stock di South-Eastern Pacipic Ocean.
Kamar Khusus ini menyangkut konservasi dan exploitasi yang berkesinambungan
dari stok ikan todak.
Tribunal mulai operasional tahun 1966 dan sampai sekarang telah memeriksa
12 perkara. Perkara pertama yang diputuskan Tribunal tanggal 1 Juli 2999 adalah
kasus antara Saint Vincent and the Grenadines dan Guinea tentang penangkapan
kapal the M/V Saiga. Kasus kedua adalah antara Panama dan Yeman untuk dengan
segera membebaskan kapal Chaisiri Reefer 2dan awak kapalnya. Tidak lama setelah
Panama
membawa sengketanya ke Tribunal, perkaranya dicabut sebagai tindak lanjut yang
dicapai kedua pihak. Yemen
setuju untuk membebaskan kapal, muatan dan awak kapal dan Panama sepakat untuk menghentikan
prosesnya di Tribunal.
Suatu kasus yang sangat menarik dan yang kiranya berguna untuk diikuti
oleh Indonesia adalah
kegiatan reklamasi tanah yang dilakukan Singapore
di selat-selat yang memisahkan Singapore
dan Malaysia .
Pada tanggal 5 September 2003 dalam kasus mengenai reklamasi tanah oleh
Singapore di sekitar selat Johor, Malaysia meminta agar Tribunal memutuskan
tindakan-tindakan sementara untuk mencegah Singapore melanjutkan kegiatan
reklamasi tanah sampai dibawanya perkara tersebut kedepan suatu tribunal
arbitrasi independen sesuai Annex VII Konvensi Hukum Laut.
Dalam memeriksa kegiatan-kegiatan reklamasi tanah yang dilakukan
Singapore di daerah Tua, satu dari dua tempat reklamasi yang disebut Malaysia,
Tribunal menyimpulkan bahwa Malaysia tidak menunjukkan urgensi permasalahan
atau tidak membuktikan akan terjadinya kerusakan yang fatal sebelum Tribunal
Annex VII memeriksa perkaranya. Oleh karena itu, Tribunal tidak memerintahkan
diambilnya tindakan-tindakan sementara di lokasi reklamasi tersebut.
Mengenai lokasi reklamasi kedua, Pulau Tekong, Tribunal mencatat
komitemen Singapore untuk tidak melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan
kerusakan yang fatal bagi Malaysia sambil menunggu hasil studi independen para
ahli yang dibiayai kedua negara. Atas dasar komitmen tersebut, Tribunal meminta
kedua negara untuk membentuk suatu panel yang terdiri dari para ahli independen
yang akan meneliti kegiatan-kegiatan reklamasi tanah oleh Singapore dan mengusulkan tindakan-tindakan
yang harus diambil teriutama menyakut pulau Tekong. Sambil menunggu keputusan
dari Tribunal Annex VII, Tribunal meminta Singapore
untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan kerugian yang
fatal terhadap hak-hak Malaysia
atau terhadap lingkungan-lingkungan laut. Dengan tindakan-tindakan sementara
ini, Malaysia
akan meneruskan upayanya untuk memperoleh keputusan akhir melalui tribunal
arbitrasi yang independen atas dasar Annex VII.
Perkara penting kedua yang masuk pending di Tribunal yang masuk kategori
Case Concerning the Conservation and Sustainable Exploration of Swordfish
Stocks in the South-Eastern
Pacifik Ocean
adalah kasus antara Chili dan Uni Eropa. Kedua pihak yang bersengketa meminta
kepada Tribunal untuk melakukan penilaian apakah masing-masing pihak sesuai
atau tidak dengan ketentuan-ketentuan konvensi sepanjang menyangkut stok ikat
todak di lautan yang berbatasan dengan Zona Ekonomi Ekslusif Chili. Kedu apihak
meminta Tribunal membentuk suatu kamar khusus untuk memeriksa sengketa tersebut
sesuai Pasal 15 Statuta Tribunal. Pada bulan Desember 2000 Tribunal membentuk
Kamar Khusus tersebut. Pada tanggal 9 Maret 2001, kedua pihak memberitahukan
Tribunal bahwa mereka telah mencapai kesepakatan sementara mengenai sengketa
mereka, tetapi tetap menginginkan agar masalahnya ditangani Kamar Khusus.
Pada tanggal 15 Maret 2001, Tribunal memberikan persetujuannya dan
menetapkan waktu kepada kedua pihak. Pada bulan Desember 2003, kedua pihak
meminta kepada Tribunal untuk memperpanjang batas waktu sampai 1 Januari 2006.
walaupun bukan Tribunal sendiri yang menyelesaikan persengketaan, namun
kesediaanya untuk mendorong proses penyelesaian sengketa secara damai