> > Pancasila Sebagai Etika Politik

Pancasila Sebagai Etika Politik

Posted on Jumat, 08 Juni 2012 | Comments Off




BAB I
 PENDAHULUAN

Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagi pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politikberkait erat denagan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian ‘moral’ senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajiban-kewajiban lainnya, karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manusia.
Walaupun dalam hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun negara, etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagi makhluk yang beradab dan berbudaya. Berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsa maupun negara bsa berkembang ke arah yang tidak baik dalam arti mora. Misalnya suatu negara yang dikuasai oleh penguasa atau rezim yang otoriter, yang memaksakan kehendak kepada manusia tanpa memperhitungkan dan mendasarkan kepada hak-hak dasar kemanusiaan. Daam suatu masyarakat negara yang demikian ini maka seseorang baik secara mora kemanusiaan akan dipandang tidak baik menurut negara serta masyarakat otoriter, karena tidak dapat hidup sesuai dengan aturan yang buruk dalam suatu masyarakat Negara. Oleh karena itu aktualisasi etika politik harus senantiasa mendasarkan kepada ukuran harkat dan martabat manusia sebagai manusia.

A.        Latar Belakang Permasalahan

Pancasila sebagai suatu sisem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainnya. Dalam Filsafat Pancasila terkandung di dalamnya suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif dan sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai. Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan melainkan suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar.
Sebagai suatu nilai, Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai tersebut kemudian dijabarkan dalam suatu norma-norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma-norma tersebut meliputi norma moral dan norma hukum. Dalam norma inilah maka Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum di negara Indonesia. Sebagai sumber dari segala sumber hukum nilai-nilai Pancasila yang sejak dahulu telah merupakan suatu cita-cita moral yang luhur yang terwujud dalam kehidupan sehari-sehari bangsa Indonesia sebelum membentuk negara. Atas dasar pengertian inilah maka nilai-nilaim Pancasila sebenarnya berasal dari bangsa Indonesia sendiri atau dengan lain perkataan bangsa Indonesia sebagai asal-mula materi nilai-nilai Pancasila.
Jadi sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah merupakan suatu pedoman yang langsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber norma baik meliputi norma mora maupun norma hukum, yang pada gilirannya harus dijabarkan lebih lanjut daam norma-norma etika, moral maupun norma hukum dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan.

B.        Perumusan Masalah

Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi menjadi beberapa cabang menurut lingkungan bahasanya masing-masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan pokok yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Etika termasuk ke dalam kelompok filsafat praktis.
Etika berkaitan dengan berbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai susia dan tidak susia, baik dan buruk. Sebagai bahasan khusus etika membicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat disebut susila atau bijak. Kualitas-kualitas ini dinamakan kebijakan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang-orang yang tidak susila. Sebenarnya etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah aku manusia. Dapat juga dikatakan bahwa etika berkaitan dengan dasar-dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia

BAB II
PEMBAHASAN

A. Etika Politik

Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang berhadapan dengan berbagai ajaran moral.
Etika dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan khusus. Etika umum adalah etika yang mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia, sedangkan etika khusus adalah etika yang membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia. Etika khusus dibagi menjadi etika individual yaitu yang membahas tentang kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika sosial yaitu yang membahas tentang kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup masyarakat, yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.
Pengertian politik berasal dari kosa kata ‘politics’, yang memiliki arti bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara, yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat dan bukan tujuan pribadi seseorang. Selain itu politik menyangkut kelompok termasuk partai politik, lembaga masyarakat maupun perseorangan.

B. Dimensi Politis Manusia

a.      Manusia sebagai Makhluk Individu-Sosial

Berdasarkan fakta dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak dapat mungkin memenuhi segala kebutuhannya, jikalau mendasarkan pada suatu anggapan bahwa sifat kodrat manusia hanya bersifat individu atau sosial saja. Dalam kapasitas moral kebebasan manusia akan menentukan apa yang harus dilakukannya dan apa yang tidak harus dilakukannya. Konsekuensinya ia harus mengambi sikap terhadap alam dan masyarakat sekelilingnya, ia dapat menyesuaikan diri dengan harapan orang lain akan tetapi terdapat suatu kemungkinan untuk melawan mereka.
Manusia adalah bebas sejauh ia sendiri mampu mengembangkan pikirannyadalam hubungan dengan tujuan-tujuan dan sarana-sarana kehidupannyadan sejauh ia dapat mencoba untuk bertindak sesuai dengannya. Dengan kebebasannya manusia dapat melihat ruang gerak dengan berbagai kemungkinan untuk bertindak, sehingga secara moral senantiasa berkaitan dengan orang lain. Oleh karena itu bagaimanapun juga ia harus memutuskan sendiri apa yang layak atau tidak layak dilakukannya secra moral. Ia dapat memperhitungkan tindakannya serta bertanggung jawab atas tindakan-tindakan tersebut.
b.      Dimensi Politis Kehidupan Manusia

Dalam Kehidupan manusia secara alamiah, jaminan atas kebebasan manusia baik sebagai individu maupun makhluk sosial suit untuk dapat dilaksanakan, karena terjadinya perbenturan kepentingan di antara mereka sehingga terdapat suatu kemungkinan terjadinya anarkisme dalam masyarakat. Dalam hubungan inilah manusia memerlukan suatu masyarakat hukum yang mampu menjamin hak-haknya, dan masyarakat itulah yang disebut negara. Oleh karena itu berdasarkan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social, dimensi politis mencakup lingkaran kelembagaan hukum dan negara, system-sistem nilai serta ideologi yang memberikan legitimasi kepadanya.
Daam hubungan dengan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhuk sosial, dimensi politis manusia senantiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum, sehingga senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu pendekatan etika politik senantiasa berkaitan dengan sikap-sikap moral dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Sebuah keputusan bersifat politis manakala diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Dengan demikian dimensi politis manusia dapat ditentukan sebagai suatu kesadaran manusia akan dirinya sendiri sebagi anggota masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan ditentukan kembali oleh tindakan-tindakannya.

C. Nilai-nilai Pancasila sebagi Sumber Etika Politik

Sebagai dasar filsafat negara Pancasila tidak hanya merupakan sumber peraturan perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan nilai kekuasaan, hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.
Negara Indonesia yang berdasarkan sila I ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ yaitu bukanlah negara yang mendasarkan kekuasaan negara dan penyelenggara negara pada nilai religius. Kekuasaan kepala negara tidak bersifat mutlak berdasarkan nilai religius, melainkan berdasarkan nilai hukum serta demokrasi.
Selain sila I, sila II ‘Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab’ juga merupakan sumber nilai-nilai moralitas dalam kehidupan bernegara. Dalam kehidupan negara kemanusiaan harus mendapatkan jaminan hukum, yaitu setiap manusia berhak mendapatkan hak, pandangan serta perlakuan yang sama tanpa membeda-bedakan  manusia tersebut dari segi ras, suku, keturunan, status maupun agama..
Sila ke-III ‘Persatuan Indonesia’ tidak dapat dipisahkan dengan keempat sila lainnya karena seluruh sila merupakan suatau kesatuan yang bersifat sistematis. Nilai yang terkandung dalam sila ini adalah sebagai penjelmaan dari sifat kodrat manusia monodualis yaitu sebagi makhluk individu dan sosial. Konsekuensinya negara adalah beraneka ragam tetapi satu, mengikatkan diri dalam suatu persatuan yang dilukiskan dalam satu semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Perbedaan bukannya untuk digunjing menjadi suatu konflik dan permusuhan melainkan diarahkan pada persatuan dalam kehidupan bersama untuk mewujudkan tujuan bersama.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila IV). Oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasaaan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan penyelenggara negara segala kebijaksanaan, kekuasaan serta kewenangan harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pendukung pokok negara.
Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu keadilan daam hidup bersama sebagaimana terkandung dalam sila ke-V, adalah merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Oleh karena itu pelaksanaan ndan penyelenggaraan negara harus berdasarkan hukum yang berlaku agar terciptanya perdamaian serta keadilan dalam hidup bersama.

Kesimpulan
Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagi pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politikberkait erat denagan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian ‘moral’ senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajiban-kewajiban lainnya, karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manusia. Walaupun dalam hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun negara, etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagi makhluk yang beradab dan berbudaya. Berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsa maupun negara bsa berkembang ke arah yang tidak baik dalam arti mora. Misalnya suatu negara yang dikuasai oleh penguasa atau rezim yang otoriter, yang memaksakan kehendak kepada manusia tanpa memperhitungkan dan mendasarkan kepada hak-hak dasar kemanusiaan. Daam suatu masyarakat negara yang demikian ini maka seseorang baik secara mora kemanusiaan akan dipandang tidak baik menurut negara serta masyarakat otoriter, karena tidak dapat hidup sesuai dengan aturan yang buruk dalam suatu masyarakat Negara. Oleh karena itu aktualisasi etika politik harus senantiasa mendasarkan kepada ukuran harkat dan martabat manusia sebagai manusia.


Sumber:
Kaelan, 2004, Pendidikan Pancasia, Paradigma : Yogyakarta
Toyibin Aziz, M., 1997, Pendidikan Pancasila, Rineka Cipta : Jakarta
Kaelan, 1983, Filsafat Pancasila, Paradigma : Yogyakarta

RezaRahmat Blog. Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Teman