EKONOMI SYARIAH
Posted on Senin, 11 Juni 2012
|
Comments Off
PENGERTIAN EKONOMI SYARIAH
Ekonomi syariah
merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah- masalahekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Ekonomi
syariah berbeda dari kapitalisme,sosialisme, maupun negara
kesejahteraan (WelfareState). Berbeda dari kapitalisme karena Islam
menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadapburuh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Selain itu, ekonomi dalam
kaca mata Islam merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran
yang memiliki dimensi ibadah
KEUNGGULAN EKONOMI SYARIAH
Sistem ekonomi syariah sangat berbeda dengan ekonomi
kapitalis, sosialis maupun komunis. Ekonomi syariah bukan pula berada
ditengah-tengah ketiga sistem ekonomi itu. Sangat
bertolak belakang dengan kapitalis yang lebih bersifat individual, sosialis
yang memberikan hampir semua tanggungjawab kepada
warganya serta komunis yang ekstrim[1], ekonomi Islam
menetapkan bentuk perdagangan serta perkhidmatan yang boleh
dan tidak boleh di transaksikan[4].
Ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesejahteraan
bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada setiap pelaku usaha
ASAS EKONOMI SYARIAH
Dengan melakukan istiqra`
(penelahaan induktif) terhadap hukum-hukum syara' yang
menyangkut masalah ekonomi, akan dapat disimpulkan bahwa Sistem Ekonomi
(an-nizham al-iqtishady) dalam Islam mencakup pembahasan yang menjelaskan
bagaimana memperoleh harta kekayaan (barang dan jasa), bagaimana mengelola
(mengkonsumsi dan mengembangkan) harta tersebut, serta bagaimana
mendistribusikankekayaan yang ada.
asas-asas yang membangun ekonomi Syariah
terdiri dari atas tiga asas, yakni :
(1)bagaimana harta diperoleh yakni menyangkut kepemilikan (al-milkiyah),
(2)bagaimana pengelolaan kepemilikan harta (tasharruf fil milkiyah), serta
(3)bagaimana distribusi kekayaan di tengah masyarakat (tauzi'ul tsarwah bayna an-naas).
(1)bagaimana harta diperoleh yakni menyangkut kepemilikan (al-milkiyah),
(2)bagaimana pengelolaan kepemilikan harta (tasharruf fil milkiyah), serta
(3)bagaimana distribusi kekayaan di tengah masyarakat (tauzi'ul tsarwah bayna an-naas).
Asas Pertama : Kepemilikan (Al-Milkiyyah)
An-Nabhaniy (1990) mengatakan, kepemilikan adalah izin As-Syari' (Allah SWT) untuk memanfaatkan zat (benda) tertentu. Oleh karena itu, kepemilikan tersebut hanya ditentukan berdasarkan ketetapan dari As-Syari' (Allah SWT) terhadap zat tersebut, serta sebab-sebab pemilikannya. Jika demikian, maka pemilikan atas suatu zat tertentu, tentu bukan semata berasal dari zat itu sendiri, ataupun dan karakter dasarnya yang memberikan manfaat atau tidak. Akan tetapi kepemilikan tersebut berasal dari adanya izin yang diberikan Allah SWT untuk memiliki zat tersebut, sehingga melahirkan akibatnya, yaitu adanya pemilikan atas zat tersebut menjadi sah menurut hukum Islam. Minuman keras dan babi, misalnya, dalam pandangan ekonomi kapitalis memang boleh dimiliki, karena zat bendanya memberikan manfaat-manfaat. Tetapi menurut Islam, minuman keras dan babi tidak boleh dimiliki, karena Allah SWT tidak memberikan izin kepada manusia untuk memilikinya.
Makna Kepemilikan:
Kepemilikan (property), dari segi kepemilikan itu sendiri, pada hakikatnya merupakan milik Allah SWT, dimana Allah SWT adalah Pemilik kepemilikan tersebut sekaligus juga Allahlah sebagai Dzat Yang memiliki kekayaan.
An-Nabhaniy (1990) mengatakan, kepemilikan adalah izin As-Syari' (Allah SWT) untuk memanfaatkan zat (benda) tertentu. Oleh karena itu, kepemilikan tersebut hanya ditentukan berdasarkan ketetapan dari As-Syari' (Allah SWT) terhadap zat tersebut, serta sebab-sebab pemilikannya. Jika demikian, maka pemilikan atas suatu zat tertentu, tentu bukan semata berasal dari zat itu sendiri, ataupun dan karakter dasarnya yang memberikan manfaat atau tidak. Akan tetapi kepemilikan tersebut berasal dari adanya izin yang diberikan Allah SWT untuk memiliki zat tersebut, sehingga melahirkan akibatnya, yaitu adanya pemilikan atas zat tersebut menjadi sah menurut hukum Islam. Minuman keras dan babi, misalnya, dalam pandangan ekonomi kapitalis memang boleh dimiliki, karena zat bendanya memberikan manfaat-manfaat. Tetapi menurut Islam, minuman keras dan babi tidak boleh dimiliki, karena Allah SWT tidak memberikan izin kepada manusia untuk memilikinya.
Makna Kepemilikan:
Kepemilikan (property), dari segi kepemilikan itu sendiri, pada hakikatnya merupakan milik Allah SWT, dimana Allah SWT adalah Pemilik kepemilikan tersebut sekaligus juga Allahlah sebagai Dzat Yang memiliki kekayaan.
Asas Kedua : Pengelolaan Kepemilikan (at-tasharruf fi al milkiyah)
Pengelolaan kepemilikan adalah sekumpulan tatacara (kaifiyah) --yang berupa hukum-hukum syara’-- yang wajib dipegang seorang muslim tatkala ia memanfaatkan harta yang dimilikinya (Abdullah, 1990).
Mengapa seorang muslim wajib menggunakan cara-cara yang dibenarkan Asy Syari’ (Allah SWT) dalam mengelola harta miliknya? Sebab, harta dalam pandangan Islam pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. Maka dari itu, ketika Allah telah menyerahkan kepada manusia untuk menguasai harta, artinya adalah hanya melalui izin-Nya saja seorang muslim akan dinilai sah memanfaatkan harta tersebut. Izin Allah itu terwujud dalam bentuk sekumpulan hukum-hukum syara’.
Walhasil, setiap muslim yang telah secara sah memiliki harta tertentu maka ia berhak memanfaatkan dan mengembangkan hartanya. Hanya saja dalam pengelolaan harta yang telah dimilikinya tersebut seorang ia wajib terikat dengan ketentuan-ketentuan hukum syara’ yang berkaitan dengan pengelolaan kepemilikan.
Asas Ketiga : Distribusi Kekayaan di Tengah-tengah Manusia
Karena distribusi kekayaan termasuk masalah yang sangat penting, maka Islam memberikan juga berbagai ketentuan yang berkaitan dengan hal ini. Mekanisme distribusi kekayaan terwujud dalam sekumpulan hukum syara’ yang ditetapkan untuk menjamin pemenuhan barang dan jasa bagi setiap individu rakyat. Mekanisme ini dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebab-sebab kepemilikan (misalnya, bekerja) serta akad-akad muamalah yang wajar (misalnya jual-beli dan ijarah).
Namun demikian, perbedaan potensi individu dalam masalah kemampuan dan pemenuhan terhadap suatu kebutuhan, bisa menyebabkan perbedaan distribusi kekayaan tersebut di antara mereka. Selain itu perbedaan antara masing-masing individu mungkin saja menyebabkan terjadinya kesalahan dalam distribusi kekayaan. Kemudian kesalahan tersebut akan membawa konsekuensi terdistribusikannya kekayaan kepada segelintir orang saja, sementara yang lain kekurangan, sebagaimana yang terjadi akibat penimbunan alat tukar yang fixed, seperti emas dan perak.
Oleh karena itu, syara' melarang perputaran kekayaan hanya di antara orang-orang kaya namun mewajibkan perputaran tersebut terjadi di antara semua orang.
Definisi Etika
Etika itu sendiri merupakan salah satu disiplin
pokok dalam filsafat, ia merefleksikan bagaimana manusia harus hidup agar
berhasil menjadi sebagai manusia (Franz Magnis-Suseno :1999)
Etika (ethics) yang berasal dari bahasa
Yunani ethikos mempunyai beragam arti : petama, sebagai
analisis konsep-konsep mengenai apa yang harus, mesti, ugas, aturan-aturan
moral, benar, salah, wajib, tanggung jawab dan lain-lain. Kedua,
pencairan ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral. Ketiga,
pencairan kehidupan yang baik secara moral (Tim Penulis Rasda Karya : 1995)
Menurut K. Bertens dalam buku Etika, merumuskan
pengertian etika kepada tiga pengertian juga; Pertama, etika digunakan
dalam pengertian nilai-niai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua,
etika dalam pengertian kumpulan asas atau nilai-nilai moral atau kode etik. Ketiga,
etika sebagai ilmu tentang baik dan buruk
Menurut Ahmad Amin memberikan batasan bahwa etika
atau akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti yang baik dan buruk, menerangkan
apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan
yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan
untuk melakukan apa yang harus diperbuat.
2. 1. b Definisi Bisnis
Kata bisnis dalam Al-Qur’an biasanya yang
digunakan al-tijarah, al-bai’, tadayantum, dan isytara.
Tetapi yang seringkali digunakan yaitu al-tijarah dan dalam bahasa
arab tijaraha, berawal dari kata dasar t-j-r, tajara, tajran wa tijarata,
yang bermakna berdagang atau berniaga. At-tijaratun walmutjar yaitu
perdagangan, perniagaan (menurut kamus al-munawwir).
Menurut ar-Raghib al-Asfahani dalam al-mufradat fi
gharib al-Qur’an , at-Tijarah bermakna pengelolaan harta benda untuk mencari
keuntungan.
Menurut Ibnu Farabi, yang dikutip ar-Raghib ,
fulanun tajirun bi kadza, berarti seseorang yang mahir dan cakap yang
mengetahui arah dan tujuan yang diupayakan dalam usahanya.
Dalam penggunaannya kata tijarah
pada ayat-ayat di atas terdapat dua macam pemahaman. Pertama,
dipahami dengan perdagangan yaitu pada surat
Al-Baqarah ; 282. Kedua, dipahami dengan perniagaan dalam pengertian
umum.
Dari penjelasan diatas,
terlihat bahwa term bisnis dalam Al-Qur’an dari tijarah pada
hakikatnya tidak semata-mata bersifat material dan hanya bertujuan mencari
keuntungan material semata, tetapi bersifat material sekaligus immaterial,
bahkan lebih meliputi dan mengutamakan hal yang bersifat immaterial dan kualitas.
Aktivitas bisnis tidak hanya dilakukan semata manusia tetapi juga dilakukan
antara manusia dengan Allah swt, bahwa bisnis harus dilakukan dengan ketelitian
dan kecermatan dalam proses administrasi dan perjanjian-perjanjian dan bisnis
tidak boleh dilakukan dengan cara penipuan, kebohongan, hanya karena memperoleh
keuntungan.