Hak Cipta (Copyright) ©
Posted on Jumat, 15 Juni 2012
|
No Comments
Sejarah
hak cipta
Konsep hak cipta di Indonesia merupakan terjemahan dari konsep copyright
dalam (bhs. Inggris artinya hak
salin). Copyright ini diciptakan sejalan dengan penemuan mesin cetak. Sebelum penemuan mesin ini oleh Gutenberg, proses untuk membuat salinan dari
sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses
pembuatan karya aslinya. Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah, bukan
para pengarang, yang pertama kali meminta perlindungan hukum terhadap karya cetak yang dapat disalin.
Awalnya, hak monopoli tersebut
diberikan langsung kepada penerbit untuk menjual karya cetak. Baru ketika
peraturan hukum tentang copyright mulai diundangkan pada tahun 1710 dengan Statute of Anne di
Inggris, hak tersebut diberikan ke pengarang, bukan penerbit. Peraturan
tersebut juga mencakup perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa
penerbit tidak dapat mengatur penggunaan karya cetak tersebut setelah transaksi
jual beli berlangsung. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur masa
berlaku hak eksklusif bagi pemegang copyright, yaitu selama 28 tahun,
yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi milik umum.
Konvensi Bern tentang
Perlindungan Karya Seni dan Sastra (Berne Convention for the Protection of
Artistic and Literary Works tahun 1886) adalah yang pertama kali
mengatur masalah copyright antara negara-negara berdaulat. Dalam
konvensi ini, copyright diberikan secara otomatis kepada karya cipta,
dan pengarang tidak harus mendaftarkan karyanya untuk mendapatkan copyright.
Segera setelah sebuah karya dicetak atau disimpan dalam satu media, si
pengarang otomatis mendapatkan hak eksklusif copyright terhadap karya
tersebut dan juga terhadap karya derivatifnya, hingga pengarang secara eksplisit menyatakan
sebaliknya atau hingga masa berlaku copyright tersebut selesai.
Pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern agar para
intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa
asing tanpa harus membayar royalti. Tahun 1982, Pemerintah Indonesia
mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad
Nomor 600 tahun 1912 dan menetapkan Undang-undang Nomor 6
Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta yang
pertama di Indonesia. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997, dan pada akhirnya dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang kini berlaku.
Perubahan undang-undang tersebut
juga tak lepas dari peran Indonesia dalam
pergaulan antar negara. Pada tahun 1994, pemerintah meratifikasi
pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia (World Trade Organization/ WTO),
yang mencakup pula Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan
Intelektual (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual
Propertyrights/TRIPs). Ratifikasi
tersebut diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun 1997, pemerintah
meratifikasi kembali Konvensi Bern
melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi World
Intellectual Property Organization Copyrights Treaty (Perjanjian Hak Cipta
WIPO) melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.
Lingkup
sebuah hak cipta adalah negara-negara yang menjadi anggota WIPO. Sebuah karya
yang diciptakan di sebuah negara anggota WIPO secara otomatis berlaku di
negara-negara anggota WIPO lainnya. Anggota non WIPO tidak mengakui hukum hak
cipta. Sebagai contoh, di Iran, perangkat lunak Windows legal untuk
didistribusikan ulang oleh siapapun.
Hak
cipta adalah hak
eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil
penuangan gagasan atau informasi tertentu.
Pada dasarnya, hak cipta
merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga
memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas
suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang
terbatas.
Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya seni
atau karya cipta atau ciptaan. Ciptaan tersebut dapat mencakup puisi, drama, serta
karya tulis lainnya, film, karya-karya koreografis (tari, balet,
dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung, foto, perangkat lunak komputer, siaran radio
dan televisi, dan (dalam yurisdiksi
tertentu) desain industri.
Hak cipta merupakan salah satu
jenis hak kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan
hak monopoli atas penggunaan invensi), karena
hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak
untuk mencegah orang lain yang melakukannya.
Hukum
yang mengatur hak cipta biasanya hanya mencakup ciptaan yang berupa perwujudan
suatu gagasan tertentu dan tidak mencakup gagasan umum, konsep, fakta, gaya,
atau teknik yang mungkin terwujud atau terwakili di dalam ciptaan tersebut. Sebagai
contoh, hak cipta yang berkaitan dengan tokoh kartun Miki Tikus melarang pihak yang tidak berhak menyebarkan salinan kartun tersebut atau
menciptakan karya yang meniru tokoh tikus tertentu ciptaan Walt Disney
tersebut, namun tidak melarang penciptaan atau karya seni lain mengenai tokoh
tikus secara umum.
Di Indonesia, masalah hak cipta diatur
dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini,
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang
tersebut, pengertian hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau
penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan
izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Hak-hak yang
tercakup dalam hak cipta
- membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan
tersebut (termasuk salinan elektronik),
- mengimpor dan mengekspor ciptaan,
- menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan
(mengadaptasi ciptaan),
- menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum,
- menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada
orang atau pihak lain.
Hak eksklusif dalam hal ini adalah bahwa hanya
pemegang hak ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara
orang atau pihak lain dilarang melaksanakan hak cipta tersebut tanpa
persetujuan pemegang hak cipta.
Konsep tersebut juga berlaku di Indonesia.
Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk kegiatan menerjemahkan,
mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan,
meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada
publik melalui sarana apapun.
Selain itu, dalam hukum yang berlaku di
Indonesia diatur pula hak terkait,
yang berkaitan dengan hak cipta dan juga merupakan hak eksklusif, yang dimiliki
oleh pelaku karya seni
(yaitu pemusik,
aktor, penari,
dan sebagainya), produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran untuk mengatur
pemanfaatan hasil dokumentasi kegiatan seni yang dilakukan, direkam, atau
disiarkan oleh mereka masing-masing. Sebagai contoh, seorang penyanyi
berhak melarang pihak lain memperbanyak rekaman suara nyanyiannya.
Hak-hak eksklusif yang tercakup dalam hak cipta
tersebut dapat dialihkan, misalnya dengan pewarisan atau perjanjian tertulis. Pemilik hak cipta dapat
pula mengizinkan pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut dengan lisensi, dengan persyaratan tertentu.
Hak ekonomi dan hak moral
Hak cipta
di Indonesia juga mengenal konsep hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi adalah
hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah
hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang
tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak
terkait telah dialihkan. Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama
pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah
dijual untuk dimanfaatkan pihak lain.
Ciptaan yang dapat
dilindungi
Ciptaan yang dilindungi hak cipta di Indonesia
dapat mencakup misalnya buku, program komputer,
pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang
diterbitkan, ceramah, kuliah,
pidato,
alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan
dan ilmu pengetahuan, lagu atau musik dengan atau tanpa
teks, drama, drama musikal, tari,
koreografi, pewayangan,
pantomim,
seni rupa
dalam segala bentuk (seperti seni lukis, gambar,
seni ukir, seni kaligrafi,
seni pahat, seni patung, kolase,
dan seni terapan), arsitektur, peta,
seni batik
(dan karya tradisional lainnya seperti seni songket
dan seni ikat),
fotografi,
sinematografi, dan tidak termasuk desain industri
(yang dilindungi sebagai kekayaan intelektual tersendiri). Ciptaan hasil
pengalihwujudan seperti terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai (misalnya
buku yang berisi kumpulan karya tulis, himpunan lagu yang direkam dalam satu
media, serta komposisi berbagai karya tari pilihan), dan database dilindungi
sebagai ciptaan tersendiri tanpa mengurangi hak cipta atas ciptaan asli.
Jangka waktu perlindungan hak cipta
Jangka waktu perlindungan hak cipta secara umum
adalah sepanjang hidup penciptanya ditambah 50 tahun atau 50 tahun
setelah pertama kali diumumkan atau dipublikasikan atau dibuat, atau tanpa
batas waktu untuk hak cipta yang dipegang oleh Negara atas folklor dan hasil kebudayaan
rakyat yang menjadi
milik bersama
Penegakan hukum atas hak
cipta
Penegakan hukum atas hak cipta
biasanya dilakukan oleh pemegang hak cipta dalam hukum perdata,
namun ada pula sisi hukum pidana. Sanksi
pidana secara umum dikenakan kepada aktivitas pemalsuan yang serius, namun kini
semakin lazim pada perkara-perkara lain.
Sanksi pidana atas pelanggaran hak cipta di Indonesia
secara umum diancam hukuman penjara paling singkat satu bulan dan paling lama
tujuh tahun
yang dapat disertai maupun tidak disertai denda sejumlah paling sedikit satu
juta rupiah
dan paling banyak lima miliar
rupiah, sementara ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta serta
alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh
Negara untuk dimusnahkan.
Perkecualian
dan batasan hak cipta
Pemakaian ciptaan tidak dianggap
sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan
terbatas untuk kegiatan yang bersifat
nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial,
misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan dan ilmu pengetahuan,
kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan
ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya. Kepentingan
yang wajar dalam hal ini adalah "kepentingan yang didasarkan pada
keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi
atas suatu ciptaan". Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan
ciptaan untuk pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus
untuk pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang
dikutip harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan
sekurang-kurangnya nama pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit
jika ada. Selain itu, seorang pemilik (bukan pemegang hak cipta) program komputer
dibolehkan membuat salinan atas program komputer yang dimilikinya,
untuk dijadikan cadangan semata-mata untuk digunakan sendiri.
Menurut UU No.19 Tahun 2002, tidak ada hak cipta atas hasil
rapat terbuka lembaga-lembaga Negara, peraturan perundang-undangan, pidato
kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah, putusan pengadilan atau penetapan hakim, ataupun keputusan
badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya (misalnya
keputusan-keputusan yang memutuskan suatu sengketa). Di Amerika Serikat,
semua dokumen pemerintah, tidak peduli tanggalnya, berada dalam domain umum,
yaitu tidak berhak cipta.
Undang-undang Hak Cipta mengatur bahwa penggunaan atau
perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan
menurut sifatnya yang asli tidaklah melanggar hak cipta. Demikian pula halnya
dengan pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga penyiaran, dan surat kabar
atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara
lengkap.
Pendaftaran hak cipta
Pendaftaran ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi
pencipta atau pemegang hak cipta, dan timbulnya perlindungan suatu ciptaan
dimulai sejak ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pendaftaran. Namun
demikian, surat
pendaftaran ciptaan dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan.
Sesuai Undang-undang Hak Cipta, pendaftaran hak cipta diselenggarakan oleh
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), yang kini berada di
bawah Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Pencipta atau pemilik hak cipta dapat mendaftarkan langsung
ciptaannya maupun melalui konsultan HKI. Permohonan pendaftaran hak cipta
dikenakan biaya (UU 19/2002 pasal 37 ayat 2). Penjelasan prosedur dan formulir
pendaftaran hak cipta dapat diperoleh di kantor maupun situs web Ditjen HKI.
"Daftar Umum Ciptaan" yang mencatat ciptaan-ciptaan terdaftar
dikelola oleh Ditjen HKI dan dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai
biaya.