Pembagian Harta Waris menurut Hukum Islam dan Hukum Adat
Posted on Minggu, 05 Agustus 2012
|
No Comments
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum waris Adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum
yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan
harta kekayaan materiil dan non-materiil dari generasi ke generasi. Pengaruh
aturan-aturan hukum lainnya atas lapangan hukum waris dapat dilukiskan sebagai
berikut:
1. Hak
purba/pertuanan ulayat masyarakat hukum adapt yang bersangkutan membatasi
pewarisan tanah.
2. Transaksi-transaksi
seperti jual gadai harus dilanjutkan oleh para ahli waris.
3. Kew ajiban dan hak yang timbul dari perbuatan-perbuatan
kredit tetap berkekuatan hukum setelah si pelaku semula meninggal.
4. Struktur
pengelompokkan wangsa/sanak, demikian pula bentuk perkawinan turut menentukan
bentuk dan isi pewarisan.
5. Perbuatan-perbuatan
hukum seperti adopsi, perkawinan ambil anak, pemberian bekal/modal berimah
tangga kepada pengantin wanita, dapat pula dipandang sebagai perbuatan di
lapangan hukum waris. Hukum waris dalam arti luas yaitu penyelenggaraan
pemindah-tanganan dan peralihan harta kekayaan kepada generasi berikutnya.[1]
A. PENGERTIAN ILMU MAWARIS
1.
Mengganti kedudukan : seperti tersebut dalam S. An Naml
16
2.
Menganugerahkan : seperti tersebut dalam S. az Zumar 74
3.
menerima warisan ; seperti tersebut dalam s. Maryam 6
Dalam pengertian istilah yang lazim di Indonesia warisan ialah perpindahan
berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia
kepada orang lain yang masih hidup. [2]
B. PERMASALAHAN
- Bagaimanakah pembagian harta waris menurut Hukum Islam dan Hukum Adat?
- Siapa sajakah yang dapat menjadi ahli waris menurut Hukum Adat dan Hukum Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERBANDINGAN ILMU MAWARIS
1. Menurut Hukum Adat
- Tak Terbaginya
Harta - Benda
Tidak
terbaginya harta peninggalan ini di sementara lingkungan hukum berhubungan dengan
asas bahwa harta - benda yang diterima dari nenek moyang tidak mungkin dimiliki
selain dari pada bersama - sama dengan para ahli waris lainnya yang secara
keseluruhan merupakah kesatuan yang tak terbagi.
Sepanjang
seseorang semasa hidupnya memperoleh harta pencarian (harta hasil usaha
pribadi), maka harta tersebut sepeninggalannya berpindah sebagai kebulatan tak
terbagi kepada keturunannya yang berhak atas itu, yang semasa hidup si pewaris
juga sudah berhubungan dengan harta tersebut selaku ahli-waris.[3]
Kemungkinan
pertama
Harta kekayaan tetap tak terbagi
karena :
a.
tidak mungkin dibagi
b.
kelompok kerabat mempunyai hak bersama, biasanya
dibawah pimpinan mamak kepada waris (Minangkabau), kepala dari (Ambon ) selaku kepala kerabat.
Bila
harta kerabat semacam ini terbengkalai : “guntung” (Minangkabau), “linyap” (Ambon ) karena kerabatnya punah, maka harta tersebut dapat
jatuh ke tangan kerabat-kerabat-kerabat yang karib atau bila mereka tidak ada,
kepada masyarakat.
Kemungkinan
kedua
Harta peninggalan itu mungkin juga tidak
terbagi karena yang berhak mewaris hanyalah satu anak, yaitu anak laki-laki
tertua (pada sebagian penduduk asli Lampung, kebanyakan pula di Bali ), anak perempuan tertua sebagian) dan kalau tidak
ada, anak laki-laki bungsu (pada suku Semnedo di Sumatera Selatan, suku Dayak
Landak dan Tayan di Kalimantan-Barat).
Kemungkinan
Ketiga
Mungkin harta peninggalan itu tidak
terbagi karena sesudah meninggalkan si pemilik, hartanya dijadikan harta
keluarga sebagai kesatuan tak terbagi. Dasarnya ialah pikiran bahwa yang
diperoleh itu memang tersedia untuk mencukupi kebutuhan dan keinginan materiil
keluarga yang bersangkutan.
b. Pembagian Semasa Hidup dan Wasiat
- Pembagian/pembekalan semasa hidup
Pembagian
harta-kekayaan (sekaligus ataupun sebagian demi sebagian) semasa hidup di
pemilik merupakan kebalikan dari tetap tak terbaginya harta peninggalan,
meskipun kedua-keduanya berdasarkan pokok pikiran yang sama (harta kekayaan
sebagai harta keluarga/kerabat, diperuntukkan dasar hidup materiil bagi para
warganya dalam generasi-generasi berikutnya). Di waktu anak menjadi dewasa
meninggalkan rumah orang tuanya, membentuk keluarga mandiri (mencar, manjai),
ia seringkali dibekali tanah pertanian, pekarangan dengan rumahnya, ternak,
benda-benda tersebut sejak semula menjadi dasar materiil keluarga baru dan
merupakan bagiannya di dalam harta keluarga, yang kelak akan diperhitungkan pada
pembagian harta peninggalan, sesudah kedua orang tuanya meninggal.
2. Wasiat
Pemilih harta-benda semasa hidupnya
dapat pula dengan cara lain melakukan pengaruh atas dan oleh karena itu
mendorong ke arah pembagian harta peninggalan.
- “Hibah” –
“Wasiat”
Cara
pertama yang jarang ditempuh ini disebut dengan istilah Islam : hibah-wasiat.
Lembaga tersebut bermanifestasi dalam perbuatan pemilik yang bertujuan: agar
bagian tertentu dari harta kekayaanya diperuntukkan bagi salah seorang
ahli-warisnya sejak saat pewaris yang bersangkutan meninggal dunia.
- “Wekas”, “welking”,
“umnat”
Pembagian
harta secara lain yang lebih umum dikenal dan dipraktekkan diseluruh Nusantara
terjadi kalau seorang pemilik pada akhir hayatnya menjumlah dan menilai
harta-kekayaannya serta mengemukakan keinginan dan harapannya berkenaan dengannya
kelak.
c. Ahli Waris
a. Waris
Utama :
Pada
umumnya yang menjadi ahli-waris ialah para warga yang paling karib di dalam
generasi berikutnya, ialah anak-anak yang didasarkan di dalam keluarga/barayan
si pewaris, yang pertama-pertama mewaris ialah anak-anak kandung. Namun
pertalian dan solidaritas keluarga itu di semnetara lingkungan hukum diterobos
oleh ikatan dan pertaubatan kelompok kerabat yang tersusun unilineal. Pada
kerabat-kerabat yang merupakan bagian clan (patrilineal ataupun matrilineal),
maka dalam hal ini terasalah adanya ketegangan antara tuntutan hak dari
kesatuan kelaurga dengan tuntutan hak dari kerabat tersebut.
Lembaga Hidup
waris
Titik pangkal : harta keluarga sejak
semula diperuntukkan dasar hidup materiil bagi mereka yang lahir dari keluarga
yang bersangkutan mendapatkan realisasinya di dalam asas penggantian tempat,
lembaga hidup waris. Keturunan dari anak (waris) yang meninggal mendahului
pewarisnya, menerima porsi orang tuanya dari harta peninggalan kakeknya. Hanya
peradilan agama (Islam) – lah yang kadang-kadang menyebabkan penerobosan asas
tersebut.
Posisi janda
Mengenai posisi janda di dalam harta
peninggalan, hukum adat bertitik tolak dari asas bahwa wanita sebagai orang
asing tidak berhak mewaris, namun selaku isteri turut memiiki harta yang
diperoleh selama, karena dan untuk ikatan perkawinan (harta kebersamaan),
disamping itu di semua wilayah ia berhak atas nafkah seumur hidup dari harta
peninggalan suaminya, kecuali di wilayah yang tidak memerlukan aturan demikian
itu berhubung dengan tata susunan sanak yang matrilineal.
Kebersamaan
harta Perkawinan
Dalam hal ada kebersamaan harta
perkawinan dan tidak ada keturunan, maka sipeninggal jodoh yang satu, yang
tinggal hidup mewaris seluruh harta kekayaan/peninggalan, jika jodoh terakhir
inipun meninggal pula, maka harta tersebut dibagi sama rata di antara para
warga kerabat kedua pihak, atau dua pertiga untuk kerabat suami dan sepertiga
bagi kerabat pihak isteri.
Anak
Angkat
Anak angkat berhak mewaris selaku
anak, sedangkan sebagai unsur asing ia tidak berhak. Sepanjang adopsi itu
melenyapkan sifat unsur asing dan menimbulkan sifat anak, maka anak angkat yang
bersangkutan berhak mewaris sebagai anak. Itulah titik pangkal hukum adat.
Perbuatan
Tunai
Selaku perbuatan tunai, adopsi
selalu menimbulkan hak mewaris sepenuhnya. Pendorong ke arah pengangkatan anak
ialah biasanya hasrat meneruskan.mengoperkan harta-kekayaan kepada anak
angkatnya, yang pada hakekatnya bermakna : mempertahankan garis hidup sendiri
didalam proses umum kontinuasi generasi.
Pewarisan
tanpa anak
Pewarisan harta-benda dalam hal
tiada anak telepas dari tuntutan hak jodoh yang hidup terlama dan anak angkat
adalah mudah.
d.
Bagian
–Bagian harta Peninggalan
1.
Harta benda Kerabat
Perbedaan dalam pewarisan antara benda-benda yang berasal dari kerabat
(harta warisan), dengan yang diperoleh secara mandiri di dalam keluarga, sering
tampak jelas dalam hal si pewaris tidak mempunyai anak : barang asalnya kembali
kepada kerabatnya sendiri (agar tidak hilang) sedangkan benda – benda
keluarganya jatuh ke tangan jodoh yang masih hidup.
Telah kita ketahui bahwa di sementara lingkungan hukum, ikatan kerabat
yang kuat dapat pula mempengaruhi pewarisan benda-benda yang diperoleh didalam
keluarga.
2.
Harta- Benda Keluarga
Perbedaan dalam pewarisan akibat solidaritas keluarga dapat timbul
berhubung dengan adanya perkawinan kedua.
Jika dua isteri dari satu suami membentuk keluarga sendiri-sendiri dengan
anak-anak mereka masing-masing, maka harta benda keluarga-keluarga itupun tetap
terpisah.
3.
Harta-Benda Martabat Tertentu
Benda-benda keramat di dalam suatu kerabat dapat terkait pada kualitas
pemiliknya.
2. Menurut Hukum Islam
a. Dasar – dasar pewarisan Islam
Kaum muslimin yang sama-sama melakukan hijrah meninggalkan kampung
halamannya sendiri memiliki ikatan bathin yang kuat, karena merasa senasib dan
sependeritaan. Dalam hukum ini, apabilah salah seorang diantara mereka
meninggal dunia, maka harta peninggalannya diwarisi oleh kerabatnya (ahli
warisnya) yang sama-sama ikut berhijrah.[4]
Kemudian apabila sipeninggal warisan dari muhajir itu tidak mempunyai
kerabat yang ikut hijrah, maka yang mewarisi hartanya adalah walinya dari
golongan anshor.[5]
Adapun dasar-dasar kewarisan menurut Hukum Islam atau yang disebut juga
dengan ashabul morots ada tiga :
1.
Qorobah
Pertalian hubungan darah adalah dasar pewarisan yang utama. Pertalian
lurus keatas disebut ushul, yaitu leluhur yang menyebabkan adanya simati,
termasuk ibu, bapak, kakek, nenek dst.
2.
Semenda
Perkawinan yang syah menurut syariat, menyebabkan adanya saling mewarisi
antara suami dan istri.
3.
Wala
Yang dimaksud wala’ disini ialah kerabatan menurut hukum yang timbul
karena membebaskan budaknya.
b. Rukun dan Syarat Kewarisan
1.
Al-Muwaris, yaitu orang yang meninggal dunia, baik haqiqi
maupun mati hukmi. Mati hukmi yaitu suatu kematian yang dinyatakan oleh hakim
karena adanya beberapa pertimbangan.
2.
Al-Waris atau ahli waris, yaitu orang yang akan
mewarisi harta warisan si mati lantaran memiliki dasar/sebab kewarisan
3.
Mauruts, yaitu harta peninggalan simati yang sudah
bersih setelah dikurangi untuk biaya perawatan jenazahnya pembayaran hutangnya
dan pelaksanaanya wasiatnya yang tidak lebih dari sepertiga.
Ahli waris yang akan menerima harta warisan disyaratkan ia harus
benar-benar hidup pada saat muwarrisnya meninggal dunia. Persyaratan ini
penting artinya terutama pada ahli waris yang mafdgud (hilang tidak diketahui
beritanya) dan anak yang masih dalam kandungan ibunya.
c. Unsur – Unsur Kewarisan
Proses peralihan harta dari orang yang telah mati kepada yang msih hidup
dalam hukum Kewarisan Islam mengenal tiga unsur, yaitu : pewaris, harta warisan
dan ahli waris.
1.
Yang Mewariskan atau Pewaris
Pewaris, yang dalam literatur fikih disebut al-muwarrits, ialah seseorang
yang telah meninggal dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada
keluarganya yang masih hidup. Berdasarkan perinsip bahwa peralihan harta dari
pewaris kepada ahli waris berlaku sedauh matinya pewaris, maka kata “pewaris”
itu sebenarnya tepat untuk pengertian seseorang yang telah mati.
2.
Harta Warisan
Harta warisan menurut Hukum Islam ialah segala sesuatu yang ditinggalkan
oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ah;I warisnya. Dalam
pengertian ini dapat dibedakan antara harta warisan dengan harta peninggalan.
Harta peninggalan adalah semua yang ditinggalkan oleh si mayit atau dalam arti apa-apa yang ada pada
seseorang saat kematiannya, sedangkan harta warisan ialah harta peninggalan
yang secara hukum syara’ berhak diterima oleh ahli
Macam-macam
Harta Warisan
Dengan melihat kepada kata-kata yang
dipergunakan Allah untuk harta warisan yaitu “ apa-apa yang ditinggalkan”, yang
dalam pandangan ahli Ushul Fikih berarti umum, maka dapat dikatakan bahwa harta
warisan itu terdiri dari beberapa macam. Bentuk yang lazim adalah harta yang
berwujud benda, baik benda bergerak, maupun benda tidak bergerak.
3.
Ahli Waris Dan Haknya
Ahli waris atau disebut warits dalam istilah fikih ialah orang yang
berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal. Di
samping adanya hubungan kekerabatan dan perkawinan itu, mereka baru berhak
menerima warisan secara hukum dengan perpenuhinya persyaratan sebagai berikut :
1.
Ahli waris itu telah atau masih hidup pada waktu
meninggalnya pewaris
2.
Tidak ada hal-hal yang menghalangi secara hukum untuk
menerima warisan.
3.
Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli
waris yang lebih dekat.
Perincian Ahli
waris
1.
Ahli Waris dalam hubungan kerabat
- Anak laki-laki dan akan perempuan
Dasar
kewarisan anak, baik laki-laki maupun perempuan, adalah firman Allah dalam
surah al-Nisa ayat 11.
- Cucu, baik laki-laki maupun perempuan
Yang
dimaksud dengan cucu dalam pendaat ini adalah anak- anak dari anak laki-laki
seterusnya kebawah dan anak-anak dari anak perempuan seterusnya kebawah.
Menurut
golongan Ahli sunnah, cucu laki-laki dan cucu perempuan baru mendapat hak
kewarisn bila sudah tidak ada anak laki-laki, baik anak laki-laki itu ayahnya
sendiri atau saudara ayahnya.
- Ayah
Ayah
dapam kedudukannya sebagai ahli waris dijelaskan Allah dalam al-Qur’an surah
al-Nisa’ ayat 11. ayah sebagai ahli waris tidak dapat terhijab secara penuh
oleh siapapun.
- Ibu
Hak
ibu dalam kewarisan dijelaskan Allah dalam al-Qur’an ayat 11 surah al-Nisa. Dan
seperti ayah, ibu tidak dapat dihijab secara penuh oleh siapapun.
- Kakek
Kakek
berhak mendapat warisan bila ayah sudah tidak ada lagi, karena hubungannya
kepada pewaris adalah melalui ayah. Selama perantara itu masih hidup ia tidak
berhak atas harta warisan. Kakek dapat mewaris bersama anak-anak, baik anak laki-laki
maupun anak perempuan, atau cucu, baik
laki-laki atau perempuan.
- Nenek
Nenek
dari pihak ayah berhak menerima warisan bila ayah dan ibu sudah meningal lebih
dahulu, karena hubungannya kepada pewaris adalah melalui ibu maupun ayah.
- Saudara
Saudara
kandung menjadi ahli waris bila tidak ada anak atau cucu dan tidak ada pula
ayah. Alasan tertutupnya saudara oleh anak adalah firman Allah surat
al-Nisa’ayat 12 dan 176 yang menyatakan bahwa saudara baru menjadi ahli waris
bila pewaris tidak mempunyai anak atau cucu.
Tentang
tertutupnya saudara oleh ayah didasarkan kepada saudara baru berhak menerima
warisan bila pewaris adalah punah atau kalalah (QS.IV:176) sedangkan pengertian
pengertian kalalah oleh orang Arab menurut yang dipahami jumhur ulama ialah
tidak mempunayi anak dan juga tidak mempunyai ayah.
Saudara
seayah mendapat hak warisan sebagai pengganti saudara kandung. Saudara kandung
lebih dekat kepada pewaris dibandingkan saudara seayah, karena pertaliannnya
dengan saudara kandung melalui dua jalur ayah dan jalur ibu, sedangkan dengan
saudara seayah hanya satu jalur yaitu jalur ayah saja.
Saudara
seibu baru berhak mendapat warisan bila tidak ada anak atau cucu dari pewaris,
baik laki-laki atau perempuan, tidak ada pula ayah dan kakek. Saudara kandung
ataupun seayah tidak menutup hak saudara seibu.
a.
Anak Saudara
Adanya
hak kewarisan anak saudara itu pada dasarnya adalah melalui perluasan
pengertian dari saudara yang haknya dijelaskan dalam al-Qur’an karena bila
saudara sudah tidak ada, maka kedudukannya digantikannya oleh anaknya
dijelaskan dalam al-Qur’an karena bila saudara sudah tidak ada, maka
kedudukannya digantikan oleh anaknya dan anak saudara belum akan mendapatkan
hak selama ayahnya yang menghubungkannya kepada pewaris masih hidup
Anak
saudara kandung mendapat warisan bila sudah tidak ada saudara seayah dan orang
yang menghijab saudara seayah itu, sedangkan anak saudara seayah mendapat
warisan bila sudah tidak ada anak saudara kandung dan tidak ada pula
orang-orang yang menutupnya. Anak saudara seibu (hanya dalam paham Syi’ah)
mendapat warisan bila tidak saudara seibu dan orang yang menutup saudara seibu
itu. Sebagai ahli waris, saudara beserta anak-anaknya disebut kerabat gais
kesamping pertama
b.
Paman
Penempatan
paman sebagai ahli waris adalah mellaui perluasan dari pengertian kakek. Bagi
mereka anak laki-laki yaitu paman atau saudara kandung atau seayah dari ayah
atau yang disebut paman, sedangkan saudara ayah yang perempuan atau bibi, bukan
ahli waris. Begi pula yang dapat diperluas pengertiannya hanyalah kakek,
sedangkan nenek tidak dapat diperluas pengertiannnya kepada anaknya, baik
laki-laki atau perempuan.
c.
Anak paman
Anak
paman disini adalah anak dari paman yang hubungannya hanya dengan ayah, itu pun
ayah yang kandung atau seayah dari ayah, sedangkan anak yang dimaksud hanyalah
yang laki-laki. Anak bibi dalam segala bentuknya bukanlah ahli waris dalam
pengertian ini
Macam-macam Ahli
Waris dan Hak Masing- masing
- Anak perempuan. Kemungkinan bagian anak perempuan adalah sebagai berikut :
a.
½ kalau ia sendiri saja (dan tidak bersama anak
laki-laki)
b.
2/3 kalau anak perempuan ada dua atau lebih dan tidak
bersama anak laki-laki.
- Cucu perempuan. Kemungkinan bagian cucu perempuan adalah :
a.
½ kalau ia sendiri saja atau
b.
2/3 kalau ia ada dua orang atau lebih dan tidak bersama
dengan cucu laki-laki, kemudian diantara
mereka berbagai sama banyak
c.
1/6 kalau bersamanya ada anak perempuan seorang saja.
- Ibu. Bagian ibu ada tiga kemungkinan sebagai berikut :
a.
1/6 bila ia bersama dengan anak atau cucu dari pewaris
atau bersama dua orang saudara atau lebih
b.
1/3 bila ia tidak bersama dengan anak atau cucu tyetapi
hanya bersama ayah
c.
1/3 dari sisa bila ibu tidak bersama anak atau cucu,
tetapi bersama dnegan suami atau istri
- Ayah. Sebagai ahli waris szaul furudh kemungkinan bagian ayah adalah
a.
1/6 kalau ia bersama dengan anak atau cucu laki-laki
b.
1/6 dan kemudian mengambil sisa harta bila ia bersama dengan
anak atau cucu perempuan.
- Kakek
a.
1/6 kalau
bersamanya ada anak atau cucu laki-laki
b.
1/6 bagiand an kemudian mengambil sisa harta bila ia
bersama anak atau cucu perempuan
- Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari ayah)
Nenek
mendapat 1/6, baik ia sendirian atau lebih.
- Saudara peempuan kandung.
a.
½ bila ia hanya seorang dan tidak ada bersamanya
saudara laki-laki
b.
2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak ada
bersamanya saudara laki-laki kemudian diantara mereka berbagi sama banyak.
- Saudara perempuan seayah.
a.
½ bila ia hanya seorang diri dan tidak ada saudara
seayah laki-laki
b.
2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak ada saudara
laki-laki seayah
c.
1/6 bila ia bersama seorang saudara kandung
perempuan
- Saudara laki-laki seibu
a.
1/6 kalau ia hanya seorang
b.
1/3 kalau ia lebih dari seoarang dan diantaranya
berbagi sama banyak
- Saudara perempuan seibu
a.
1/6 kalau ia hanya seorang diri
b.
1/3 untuk dua orang atau lebih dan kemudian berbagi
sama bayak
- Suami
a.
½ kalau tidak ada anak atau cucu
b.
Kalau ada bersamanya anak atau cucu
- Istri
a.
¼ bila tidak ada bersamanya anak atau cucu dari pewaris
b.
1/8 bila ia bersama dengan anak atau cucu dalam
kewarisan.
d. Hal – Hal Yang Mengugurkan Hak Mewarisi
Mawani’il irsi atau penghalang hak mewarisi ialah hal-hal
yang dapat menggugurkan hak ahli waris untuk mewarisi harta warisan pewarisnya.
Mawani’il irsi ada empat macam, tiga diantaranya telah
disepakati para fugoha yaitu :
- Pembunuhan
- Berlainan agama
- Perbudakan
- Berlainan negara
I.
Pembunuhan
II.
Berlainan Agama
Orang kafir adalah selain orang Islam baik ia beragama samawi atau bergama budaya maupu
Atheis tidak beragama.
Imam Ahmad dan aliran Malikiyah menetapkan bahwa mereka tidak dapat
saling mewarisi bila aham ahli waris dan pewarisnya berbeda. Adapun orang
murtad mempunyai kedudukan yang tersendiri. Orang murtad tidak berhak menerima
harta warisan dari siapapun, baik kerabatnya itu muslim ataupun bukan atau
sama-sama murtad.
Harta milik orang murtad yang didapat setelah riddah, disepakati para
fukoha dimasukkan ke Baitul maal. Tetapi harta yang didapat ketika masih
muslim, menurut Imam hanafi diwarisi kerabatnya yang muslim. Alasan yang
dikemukakan ialah saat riddah adalah saat kematian (bagi murtad laki-laki)
sebab pada saat itu ia kena sanksi hukuman mati.
III.
Perbudakan
Meskipun sejak semula islam menghendaki perbudakan dihapus, namun karena
pada waktu itu perbudakan merupakan suatu kenyataan yang sudah merata dimana-mana
dan sukar dihapus, maka perbudakan mendapatkan tempat didalam pembahasan hukum
Islam.
Seorang budak statusnya tidak bisa menjadi ahli waris, karena dipandang
tidak cakap mengurusi harta dan telah putus hubungan kekelaurgaan dnegan
kerabatnya. Bahkan ada yang memandang budak itu statusnya sebagai harta milik
tuannya.
Dan ia tidak dapat mewariskan harta peninggalannya, sebab ia sendiri dan
segala harta yang ada pada dirinya adalah milik tuannya. Dia tidak memiliki
harta apa-apa.
IV. Berlainan
negara
Berlainan negara antara orang-orang yang non muslim. Berlainan negara
antar orang-orang non muslim berarti terputusnya ishmah dan tidak adanya
hubungan perwalian sebagai dasar pewarisan, dengan catata bahwa berlainan
negara dalam hakekatnya saja tidak bepengaruh dalam segi hukum.
[1] Lihat Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa
Asas, penerbit Liberty, 1990, Jakarta.
hal 151.
[2] Lihat Drs. Muslich Maruci, Ilmu Waris,
penerbit Mujahidin, 1990, Semarang. hal 1.
[3] Ibid
[4] Lihat Drs. Muslich Maruci, Ilmu Waris,
penerbit Mujahidin, 1990, Semarang.
[5] Lihat
Prof. Dr . Amir
syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam , Penerbit
Kencana, 2004, Pa dang .