Perkembangan HaKI di Indonesia
Posted on Jumat, 15 Juni 2012
|
No Comments
Di Indonesia, HaKI mulai populer
memasuki tahun 2000 sampai dengan sekarang. Tapi, ketika kepopulerannya itu
sudah sampai puncaknya, grafiknya akan turun. Ketika mau turun, muncullah hukum
siber (cyber), yang ternyata perkembangan dari HaKI itu sendiri. Jadi, HaKI
akan terbawa terus seiring dengan ilmu-ilmu yang baru. seiring dengan
perkembangan teknologi informasi yang tidak pernah berhenti berinovasi.
Peraturan perundangan HaKI di Indonesia dimulai sejak masa penjajahan Belanda dengan diundangkannya Octrooi Wet No. 136 Staatsblad 1911 No. 313, Industrieel Eigendom Kolonien 1912 dan Auterswet 1912 Staatsblad 1912 No. 600.
Setelah Indonesia merdeka, Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman No. JS 5/41 tanggal 12 Agustus 1953 dan No. JG 1/2/17 tanggal 29 Agustus 1953 tentang Pendaftaran Sementara Paten.
Pada tahun 1961, Pemerintah RI mengesahkan Undang-undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek. Kemudian pada tahun 1982, Pemerintah juga mengundangkan Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Di bidang paten, Pemerintah mengundangkan Undang-undang No. 6 Tahun 1989 tentang Paten yang mulai efektif berlaku tahun 1991. Di tahun 1992, Pemerintah mengganti Undang-undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek dengan Undang-undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek.
Sejalan dengan masuknya Indonesia sebagai anggota WTO/TRIPs dan diratifikasinya beberapa konvensi internasional di bidang HaKI sebagaimana dijelaskan dalam jawaban no. 7 di atas, maka Indonesia harus menyelaraskan peraturan perundang-undangan di bidang HaKI. Untuk itu, pada tahun 1997 Pemerintah merevisi kembali beberapa peraturan perundang-undangan di bidang HaKI, dengan mengundangkan:
- Undang-undang No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta;
- Undang-undang No. 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun 1989 tentang Paten;
- Undang-undang No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek;
Selain ketiga undang-undang tersebut di atas, pada tahun 2000 Pemerintah juga mengundangkan :
- Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
- Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri;
- Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Dengan pertimbangan masih perlu dilakukan penyempurnaan terhadap undang-undang tentang hak cipta, paten, dan merek yang diundangkan tahun 1997, maka ketiga undangundang tersebut telah direvisi kembali pada tahun 2001. Selanjutnya telah diundangkan:
- Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten; dan
- Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
Pengaruh International Covention &
International Pressure Terhadap Pembentukan HaKI
Pada tahun 1994, Indonesia masuk sebagai anggota WTO (World Trade Organization) dengan meratifikasi hasil Putaran Uruguay yaitu Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Salah satu bagian penting dari Persetujuan WTO adalah Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade In Counterfeit Goods (TRIPs). Sejalan dengan TRIPs, Pemerintah
a. Paris Convention for the protection of Industrial Property and Convention Establishing the World Intellectual Property Organizations, dengan Keppres No. 15 Tahun 1997 tentang perubahan Keppres No. 24 Tahun 1979;
b. Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT, dengan Keppres No. 16 Tahun 1997;
c. Trademark Law Treaty (TML) dengan Keppres No. 17 Tahun 1997;
d. Bern Convention.for the Protection of Literary and Artistic Works dengan Keppres No. 18 Tahun 1997;
e. WIPO Copyrights Treaty (WCT) dengan KeppresNo. 19 Tahun 1997;
Memasuki milenium baru, hak kekayaan intelektual menjadi isu yang sangat penting yang selalu mendapat perhatian baik dalam forum nasional maupun internasional Dimasukkannya TRIPS dalam paket Persetujuan WTO di tahun 1994 menandakan dimulainya era baru perkembangan HaKI di seluruh dunia. Dengan demikian pada saat ini permasalahan HaKI tidak dapat dilepaskan dari dunia perdagangan dan investasi. Pentingnya HaKI dalam pembangunan ekonomi dan perdagangan telah memacu dimulainya era baru pembangunan ekonomi yang berdasar ilmu pengetahuan
HaKI adalah konsep hukum yang netral. Namun, sebagai pranata, HaKI juga memiliki misi. Di antaranya, menjamin perlindungan terhadap kepentingan moral dan ekonomi pemiliknya. Bagi Indonesia, pengembangan sistem HaKI telah diarahkan untuk menjadi pagar, penuntun dan sekaligus rambu bagi aktivitas industri dan lalu lintas perdagangan. Dalam skala ekonomi makro, HaKI dirancang untuk memberi energi dan motivasi kepada masyarakat untuk lebih mampu menggerakkan seluruh potensi ekonomi yang dimiliki.
Ketika menghadapi badai krisis ekonomi, HaKI terbukti dapat menjadi salah satu payung pelindung bagi para tenaga kerja yang memang benar-benar kreatif dan inovatif. Lebih dari itu, HaKI sesungguhnya dapat diberdayakan untuk mengurangi kadar ketergantungan ekonomi pada luar negeri. Bagi Indonesia, menerima globalisasi dan mengakomodasi konsepsi perlindungan HaKI tidak lantas menihilkan kepentingan nasional. Keberpihakan pada rakyat, tetap menjadi justifikasi dalam prinsip-prinsip pengaturan dan rasionalitas perlindungan berbagai bidang HaKI di tingkat nasional. Namun, semua itu harus tetap berada pada koridor hukum dan norma-norma internasional.
Dari segi hukum, sesungguhnya landasan keberpihakan pada kepentingan nasional itu telah tertata dalam berbagai pranata HaKI. Di bidang paten misalnya, monopoli penguasaan dibatasi hanya 20 tahun. Selewatnya itu, paten menjadi public domain. Artinya, klaim monopoli dihentikan dan masyarakat bebas memanfaatkan.
Di bidang merek, HaKI tegas menolak monopoli pemilikan dan penggunaan merek yang miskin reputasi. Merek serupa itu bebas digunakan dan didaftarkan orang lain sepanjang untuk komoditas dagang yang tidak sejenis. HaKI hanya memberi otoritas monopoli yang lebih ketat pada merek yang sudah menjadi tanda dagang yang terkenal. Di luar itu, masyarakat bebas menggunakan sepanjang sesuai dengan aturan. Yang pasti, permintaan pendaftaran merek ditolak bila didasari iktikad tidak baik.
Banyak pemikiran yang menawarkan tesis bahwa efektivitas UU ditentukan oleh tiga hal utama. Yaitu, kualitas perangkat perundang-undangan, tingkat kesiapan aparat penegak hukum dan derajat pemahaman masyarakat.
Pertama, dari segi kualitas perundang-undangan. Masalahnya adalah apakah materi muatan UU telah tersusun secara lengkap dan memadai, serta terstruktur dan mudah dipahami. Aturan perundang-undangan di bidang HaKI memiliki kendala dari sudut parameter ini. Hal ini terbukti dari seringnya merevisi perangkat perundangan yang telah dimiliki. UU Hak Cipta telah tiga kali direvisi. Demikian pula UU Paten dan UU Merek yang telah disempurnakan lagi setelah sebelumnya bersama-sama direvisi tahun 1997. Sebagai instrumen pengaturan yang relatif baru, bongkar pasang UU bukan hal yang tabu.
Setiap kali dilakukan revisi, setiap kali pula tertambah kekurangan-kekurangan yang dahulu tidak terpikirkan. Dalam banyak hal, revisi juga sekedar merupakan klarifikasi. Ini yang sering kali digunakan sebagai solusi atas problema pengaturan yang tidak jelas atau melahirkan multiinterpretasi.
Kedua, tingkat kesiapan aparat penegak hukum. Faktor ini melibatkan banyak pihak: polisi, jaksa, hakim, dan bahkan para pengacara. Seperti sudah sering kali dikeluhkan, sebagian dari para aktor penegakan hukum tersebut dinilai belum sepenuhnya mampu mengimplementasikan UU HaKI secara optimal. Dengan menepis berbagai kemungkinan terjadinya 'penyimpangan', kendala yang dihadapi memang tidak sepenuhnya berada di pundak mereka. Sistem pendidikan dan kurikulum di bangku pendidikan tinggi tidak memberikan bekal substansi yang cukup di bidang HaKI. Karenanya, dapat dipahami bila wajah penegakan hukum HaKI masih tampak kusut dan acapkali diwarnai berbagai kontroversi.
Ketiga, derajat pemahaman masyarakat. Sesungguhnya memang kurang fair menuntut masyarakat memahami sendiri aturan HaKI tanpa bimbingan yang memadai. Sebagai konsep hukum baru yang padat dengan teori lintas ilmu, HaKI memiliki kendala klasik untuk dapat dimengerti dan dipahami. Selain sistem edukasi yang kurang terakomodasi di jenjang perguruan tinggi, HaKI hanya menjadi wacana yang sangat terbatas karena kurangnya
Dari paparan di atas tampak bahwa faktor pemahaman masyarakat dan kesiapan aparat penegak hukum, memiliki korelasi yang kuat dengan kegiatan sosialisasi yang dilaksanakan. Sosialisasi menjadi tingkat prakondisi bagi efektivitas penegakan hukum. Efektivitas penegakan hukum sungguh sangat dipengaruhi oleh tingkat pemahaman masyarakat dan kesiapan aparat. Semakin tinggi pemahaman masyarakat semakin tinggi pula tingkat kesadaran hukumnya. Demikian pula kondisi aparat. Semakin bulat pemahaman aparat, semakin mantap kinerja mereka di lapangan. Keduanya merupakan faktor yang menentukan. Karenanya, sosialisasi merupakan keharusan. Sosialisasi diperlukan utamanya untuk membangun pemahaman dan menumbuhkan kesadaran masyarakat. Seiring dengan itu untuk meningkatkan pemahaman dan memantapkan kemampuan aparat dalam menangani masalah HaKI.
Di antara bidang-bidang HaKI yang diobservasi, hak cipta, dan merek merupakan korban paling parah akibat pelanggaran. Terdapat empat kategori karya cipta yang banyak dibajak hak ekonominya. Data ini direpresentasi oleh karya program komputer, musik, film dan buku dari AS yang secara berturut-turut mencatat angka kerugian yang sangat signifikan. Kalkulasi kerugian berbagai komoditas tersebut telah memaksa AS menghukum Indonesia dengan menempatkannya ke dalam status priority watchlist dalam beberapa tahun terakhir ini.
Di bidang merek, pelanggaran tidak hanya menyangkut merek-merek asing. Selain merek terkenal asing, termasuk yang telah diproduksi di dalam negeri, merek-merek lokal juga tak luput dari sasaran peniruan dan pemalsuan. Di antaranya, produk rokok, tas, sandal dan sepatu, busana, parfum, arloji, alat tulis dan tinta printer, oli, dan bahkan onderdil mobil. Kasus pemalsuan yang terakhir ini terungkap lewat operasi penggerebekan terhadap sebuah toko di Jakarta Barat yang mendapatkan sejumlah besar onderdil Daihatsu palsu. Pelakunya telah ditindak dan saat ini sedang menjalani persidangan di PN Jakarta Barat.
Kasus Daihatsu tampaknya belum akan menjadi kasus terakhir. Prediksi ini muncul karena fenomena pelanggaran hukum yang masih belum dijerakan oleh sanksi pidana yang dijatuhkan. Faktor deterrent hukum masih belum mampu unjuk kekuatan. Pengadilan masih nampak setengah hati memberi sanksi. Padahal, pemalsuan sparepart bukan saja merugikan konsumen secara ekonomi, tetapi juga dapat mencelakakan dan mengancam jiwanya. Kesemuanya itu tidak disikapi dengan penuh atensi. Sebaliknya, dianggap sekedar sebagai perbuatan yang dikategorikan merugikan orang lain. Sekali lagi, tingkat kesadaran hukum masyarakat sangat menentukan. Betapapun, datangnya kesadaran itu acapkali harus dipaksakan melalui putusan pengadilan. Inilah harga yang harus dibayar untuk dapat mewujudkan penegakan hukum HaKI yang tidak hanya diperlukan untuk kepentingan pemegang HaKI, tetapi juga bagi jaminan kepastian, kenyamanan, dan keselamatan masyarakat konsumen secara keseluruhan.