KELUARGA: Masalah Kafa'ah dalam Pernikahan, Perlukah dipersyaratkan?
Posted on Sabtu, 04 Agustus 2012
|
No Comments
Adalah fitrah manusia di alam fana ini, bahwa dalam menjalani
kehidupannya manusia tidak bisa hidup sendirian. Setiap manusia pasti
membutuhkan manusia yang lain sebagai pasangan hidup, sebagai teman untuk
berkomunikasi, sebagai tempat untuk berbagi perasaan suka dan duka, atau teman
untuk bertukar pikiran.
Untuk memenuhi itu semua, setiap manusia perlu membentuk sesuatu yang
menurut pengertian umum disebut keluarga. Untuk membentuk satu keluarga, setiap
manusia apakah dia seorang pria atau wanita perlu bergaul (berkomunikasi)
dengan lawan jenisnya dalam rangka menuju sesuatu yang sudah dicontohkan oleh
Rasulullah Saw, yaitu melangsungkan pernikahan. Pernikahan merupakan salah satu sunnah Rasulullah Saw
yang dalam sabdanya dikatakan :
“Pernikahan adalah salah satu sunnahku, maka barangsiapa menyukai
fitrahku hendaknya ia mengikuti sunnahku.” (HR.
Abu Ya’la dari Ibn Abbas, dengan sanad hasan)
Seseorang yang akan melangsungkan pernikahan
tentunya akan melalui suatu proses pencarian atau perjodohan untuk menentukan
pasangan hidupnya. Menarik untuk dibahas sehubungan dengan timbulnya pertanyaan
di kalangan remaja muslim / muslimah yang belum menikah, tentang perlukah
kafa'ah (kesederajatan) dipersyaratkan dalam pernikahan ?
Di sini perlu dijelaskan terlebih dahulu apa pengertian kafa’ah di dalam
pernikahan. Arti kafa'ah (kesederajatan) bagi orang-orang yang menganggapnya
syarat dalam pernikahan, adalah hendaknya seorang laki-laki (calon suami) itu
setara derajatnya dengan wanita yang akan menjadi istrinya dalam beberapa hal. (Lihat
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (edisi lengkap), Penerbit
Lentera, Cetakan kedua, Jakarta, tahun 1996, hlm. 349)
Untuk mengetahui tentang perlukah kafa’ah dalam pernikahan kita
harus melihat pendapat para ulama mazhab fiqih. Di sini penulis akan mengutip
pendapat empat ulama mazhab fiqih dari sebuah buku karangan Prof. H. Mahmud
Junus, yang berjudul Hukum Perkawinan Dalam Islam. (Lihat Mahmud Junus, Hukum
Perkawinan Dalam Islam, Pustaka Mahmudiah Jakarta, Cetakan ketiga, tahun
1964, halaman 74 – 78).
Kafa’ah
Menurut Mazhab Syafi’i
Menurut Imam Syafi’i kafa’ah dalam pernikahan itu dalam empat perkara :.
kebangsaan, keagamaan, kemerdekaan, dan mata pencaharian
Kebangsaan
Manusia itu ada dua bagian : Bangsa Arab dan bukan bangsa Arab
(Ajam). Bangsa Arab ada dua macam : suku Quraisy dan suku yang bukan Quraisy.
Perempuan suku Quraisy hanya sederajat dengan laki-laki suku Quraisy dan tidak
sederajat dengan suku yang bukan Quraisy. Perempuan Arab yang bukan suku
Quraisy sederajat dengan laki-laki yang bukan suku Quraisy dan tidak sederajat
dengan laki-laki bangsa Ajam. Perempuan bangsa Ajam sederajat dengan
laki-laki bangsa Ajam.
Jadi menurut Imam Syafi’i perempuan bangsa Arab, baik dari suku Quraisy atau
dari suku bukan Quraisy, tidak sederajat dengan laki-laki bangsa Indonesia,
India dan sebagainya, meskipun ibunya dari bangsa Arab.
b.
Keagamaan
Sepatutnyalah perempuan sederajat dengan laki-laki tentang menjaga
kehormatan dan kesuciannya. Maka perempuan yang baik sederajat dengan laki-laki
yang baik dan tidak sederajat dengan laki-laki yang fasik (pezina, pejudi,
pemabuk dsb.). Perempuan yang fasik sederajat dengan laki-laki yang fasik.
Perempuan pezina sederajat dengan laki-laki pezina.
c.
Kemerdekaan
Perempuan merdeka hanya sederajat dengan laki-laki merdeka dan
tidak sederajat dengan laki-laki budak.
d.
Mata Pencaharian
Laki-laki yang mata pencahariannya rendah, seperti tukang sapu
jalan raja, tukang jaga pintu dsb., tidak sederajat dengan perempuan yang
usahanya atau usaha bapaknya lebih mulia, seperti tukang jahit atau tukang
listrik dsb. Laki-laki yang mempunyai mata pencaharian tidak sederajat dengan
perempuan anak saudagar. Laki-laki saudagar tidak sederajat dengan perempuan
anak ulama atau anak hakim.
Adapun kekayaan, maka hal ini tidak termasuk
dalam kriteria pernikahan. Karena itu, laki-laki miskin sederajat dengan
perempuan yang kaya.
Menurut Imam Syafii pula, kriteria pernikahan itu diperhitungkan dari pihak
perempuan. Adapun laki-laki, ia boleh menikahi perempuan yang tidak sederajat
dengan dia, meskipun kepada pembantu atau perempuan budak. Demikian
menurut Imam Syafi’i.
Kafa’ah
Menurut Mazhab Hambali
Mazhab Hambali memiliki pendapat yang sama dengan mazhab Syafi’i,
hanya ada tambahan satu perkara, yaitu tentang kekayaan. Menurut Imam Hambali,
laki-laki miskin tidak sederajat dengan perempuan yang kaya.
Kafa’ah
Menurut Mazhab Hanafi
Menurut Imam Hanafi, kafa’ah dalam pernikahan itu dalam enam perkara:
:kebangsaan (konsepnya hampir sama dengan
Syafi’i), keislaman, mata pencaharian (hampir sama dengan
Syafi’i), kemerdekaan, keagamaan, dan
kekayaan (hampir sama dengan Hambali)
Keislaman
dan kemerdekaan
Menurut Hanafi, Laki-laki Muslim yang bapaknya adalah orang kafir tidak
sederajat dengan perempuan muslimin yang bapaknya muslim.
Laki-laki budak yang sudah dimerdekakan, tidak sederajat dengan perempuan yang
merdeka sejak lahirnya. Menurut Hanafi, laki-laki bangsa Ajam yang alim dan
miskin, sederajat dengan perempuan bangsa Arab yang jahil dan kaya, bahkan
sederajat juga dengan perempuan Syarifah/Sayyidah keturunan Alawiyah. Karena kemuliaan ilmu pengetahuan di atas dari kemuliaan
kebangsaan dan kekayaan.
Keagamaan
Pendapat Mazhab Hanafi tentang kafaah dalam urusan keagamaan sama dengan
pendapat mazhab Syafi’i. Perbedaan keduanyanyaada pada beberapa perkara.
Perempuan yang soleh dan bapaknya fasik, lalu ia nikah dengan laki-laki fasik,
maka pernikahan itu sah dan bapaknya tidak berhak membantah (membatalkan)
pernikahan, karena ia sama-sama fasik dengan laki-laki itu. Demikian menurut
Imam Hanafi.
Menurut Imam Hanafi, yang dimaksud dengan fasik ialah :
1. Orang yang mengerjakan dosa besar dengan
terang-terangan, seperti mabuk di tengah jalan atau pergi ke tempat pelacuran
atau ke tempat perjudian dengan terang-terangan, dsb.
2. Orang yang mengerjakan dosa besar dengan
bersembunyi, tetapi diberitahukannya kepada teman-temannya, bahwa ia berbuat
demikian, seperti sebagian pemuda yang meninggalkan shalat lalu
diproklamirkannya kelakuannya itu kepada teman-temannya bahwa ia tidak shalat
dan tidak puasa. Maka pemuda itu tidak sederajat dengan perempuan yang soleh
(mengerjakan shalat dan puasa).
Kafa’ah
menurut mazhab Maliki
Menurut Imam Maliki kafa’ah itu adalah tentang dua perkara saja :
keagamaan dan keterbebasan dari cacat.
Perempuan yang soleh tidak sederajat dengan laki-laki yang
fasik, begitu juga perempuan yang selamat dari cacat tidak sederajat dengan
laki-laki yang bercacat, seperti gila, sakit lepra, bala’, TBC, dsb.
Adapun kekayaan, kebangsaan, perusahaan dan kemerdekaan,
maka semuanya itu tidak diperhitungkan dalam pernikahan. Laki-laki bangsa Ajam
seperti bangsa Indonesia ,
sederajat dengan perempuan bangsa Arab meskipun perempuan itu adalah
Syarifah/Sayyidah keturunan Alawiah. Laki-laki tukang sapu atau tukang
kebun, sederajat dengan perempuan anak saudagar, bahkan anak orang alim.
Laki-laki miskin sederajat dengan perempuan yang kaya atau anak orang kaya,
bahkan perempuan merdeka sederajat dengan laki-laki budak. Demikian menurut
Imam Maliki.
Pendapat mazhab Maliki ini dianggap oleh sebagian ulama
kontemporer sesuai dengan kondisi zaman sekarang, yaitu zaman demokrasi, zaman
sama rata, sama rasa, dan zaman yang memandang mulia semua mata pencaharian dan
pekerjaan yang halal. Dalilnya banyak, antara lain :
Al-Qur’an
Firman Allah yang artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujuraat : 13).
Hadis-Hadis
Nabi SAWW
Hadis yang artinya : Tidak ada kelebihan (keistimewaan)
bagi bangsa Arab atas bangsa Ajam (yang bukan Arab) dan tiada pula bagi bangsa
Ajam atas bangsa Arab dan tiada pula bagi bangsa kulit putih atas bangsa kulit
hitam dan tiada pula bagi bangsa kulit hitam atas bangsa kulit putih, kecuali
dengan taqwa. (HR. Ashabuh Sunnah).
Hadis yang artinya : Apabila datang kepadamu orang (meminang) yang kamu
sukai agama dan akhlaknya, maka hendaklah kamu kawinkan dia (dengan anakmu),
kalau tidak kamu berbuat demikian itu, maka akan terjadilah fitnah di bumi dan
bencana yang besar. Berkata
mereka itu (sahabat-sahabat Nabi) : Ya, Rasulullah, kalau ada pada orang itu
kekurangan bangsa atau harta ? Berkata Nabi : Apabila datang kepadamu
orang yang kamu sukai agama dan akhlaknya, maka hendaklah kamu kawinkan dia,
(Nabi mengatakannya sampai tiga kali.) (Shahih Turmudzi).
Melengkapi pendapat para Imam mazhab fiqih tersebut, akan penulis kutipkan satu
pandangan dari sebuah mazhab fiqih yang dalam sejarah dikenal sebagai mazhab
Ja’fari. Mazhab Ja’fari ini dikembangkan oleh salah seorang cucu Rasulullah SAW
yang bernama Imam Ja’far Ash-Shadiq (lahir 17 Rabiul awal 83 H, wafat 25 Syawal
148 H). Di sini penulis mengutip tulisan Muhammad Jawad Mughniyah dalam bukunya
Fiqih Lima Mazhab.
Mazhab Ja’fari tidak memandang keharusan adanya kafa’ah kecuali dalam hal
agama, berdasar hadis Nabi Saw berikut ini :
Apabila datang kepadamu orang yang bisa kamu terima agama dan akhlaknya
(untuk mengawini anak-anak perempuanmu), maka kawinkanlah dia. Sebab, kalau hal
itu tidak kalian lakukan, niscaya akan menjadi fitnah di muka bumi dan menjadi
kerusakan yang berat.
Bagaimanapun juga, keharusan adanya kafa’ah dalam perkawinan tentulah juga
tidak sesuai dengan nash Al-Qur’an yang berbunyi, “Sesungguhnya yang paling
mulia di antaramu di sisi Allah adalah yang paling takwa.” (QS. Al-Hujuraat
: 13) dan dengan prinsip Islam yang berbunyi, “Tidak ada kelebihan
sedikitpun bagi orang Arab atas orang Ajam (non Arab) kecuali dalam hal takwa.”
Juga tidak sejalan dengan sunnah Rasul SAWW ketika beliau memerintahkan
Fathimah binti Qais untuk menikah dengan Zaid bin Usamah, dan menyuruh Bani
Bayadhah untuk mengawinkan Abu Hind dengan salah seorang anak gadis mereka,
padahal Abu Hind adalah seorang pembuat tali kekang kuda. (Lihat Muhammad Jawad
Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (edisi lengkap), penerbit Lentera, Cetakan
kedua, Jakarta, tahun 1996, halaman 350).
Setelah melihat berbagai pandangan dari para ulama mazhab fiqih tersebut di
atas, kembali kita pada pertanyaan : Perlukah kafa’ah (kesederajatan)
dipersyaratkan dalam pernikahan ? Jawabannya, tergantung dari mazhab
fiqih mana yang kita ikuti. Jadi kalau Anda misalnya mengikuti salah satu
mazhab fiqih, apakah itu mazhab Syafi’i, Hanafi, Hambali, atau Maliki, di
sini masalah kafa’ah diperlukan dalam proses pernikahan. Tentunya di sini
masalah kafa’ah dalam perkara apa saja, tergantung dari ketentuan yang telah
digariskan oleh salah satu mazhab fiqih tersebut.
Kemudian kalau kita mengikuti mazhab Ja'fari, di sini
masalah kafa'ah tidak dipersyaratkan. Mazhab Ja’fari tidak memandang
keharusan adanya kafa’ah kecuali dalam hal agama. Tentunya amat bijaksana kalau
kita mengikuti mazhab Ja'fari, kita konsekuen dengan ketentuan mazhab
Ja’fari tersebut dan sebaiknya tidak mencampur adukkan dengan ketentuan mazhab
fiqih yang lain misalnya dengan mazhab Syafi'i.
Dalam Al-Qur’an terdapat ketentuan yang mengatur masalah kafa’ah (lihat surat Al-Hujuraat :
13). Kemudian dalam surat
An-Nur Allah Swt berfirman yang artinya : Laki-laki yang berzina tidak
mengawini melainkan dengan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik,
dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
beriman. (QS. An-Nur : 3).
Selanjutnya masih dalam surat
An-Nur Allah SWT berfirman yang artinya :
Wanita-wanita
yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat
wanita-wanita yang keji pula, dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang
baik pula. Mereka yang dituduh itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka
yang menuduh itu. Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia. (QS.
An-Nur : 26).
Kemudian yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw kita perlu melihat peristiwa yang
terjadi di zaman Rasul. Rasulullah Saw mengawinkan Dhiya’ah binti Zubair
bin Abdul Muthalib (cucu pemimpin Quraisy dan juga merupakan putri paman Rasul)
dengan Miqdad bin Al-Aswad, yang kemuliaannya berada di bawah Dhiya’ah dan dari
keturunan biasa-biasa saja.
Rasulullah Saw juga menyuruh Ziyad bin Labid (pemimpin Bani Bayadhah dan pemuka
sahabat Anshar), agar mengawinkan putrinya yang cantik jelita, terhormat dan
memiliki status sosial tinggi dengan Juwaybir, seorang sahabat yang miskin dan
hidupnya bergantung pada pemberian zakat dan hidup di tengah-tengah sahabat
yang miskin, tak punya keluarga dan harta.
Bagi pembaca yang ingin mengetahui cerita lengkap pernikahan dua orang sahabat
Rasul tersebut, bisa membaca buku yang berjudul : Kiprah Muslimah Dalam
Keluarga Islam terbitan Mizan Bandung, cetakan kelima tahun 1995, pada Bab V
(Konsep Pembinaan Keluarga Menurut Islam).
Akhir kata semoga tulisan ini ada manfaatnya bagi remaja muslim / muslimah yang
belum menikah, dalam menentukan pasangan hidup. []
DAFTAR
PUSTAKA
Prof.
H. Mahmud Junus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Pustaka Mahmudiah,
Cetakan ketiga, Jakarta ,
1964.
Muhammad
Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Edisi Lengkap), Penerbit Lentera, Cetakan
kedua, Jakarta ,
1996.
Kiprah
Muslimah Dalam Keluarga Islam, Penerbit Mizan, Cetakan
kelima, Bandung ,
1995.
Source: Google; Penulis: Donny Somadijaya, SH,
aktivis Yayasan Al-Jawad, Bandung
Belum Mendapatkan Jodoh? Temukan Jodoh Anda Sekarang ! Klik Disini.