> > Hukum Adat Di Dalam Hukum Formil

Hukum Adat Di Dalam Hukum Formil

Posted on Sabtu, 04 Agustus 2012 | No Comments


BAB I
PENDAHULUAN

          Diseluruh dunia dewasa ini mempunyai tata hukumnya sendiri-sendiri yang diperlakukan didalam lingkungan batas-batas wilayahnya. Tidak ada sesuatu bangsa yang tidak   nasionalnya sendiri.[1]
          Dari berbagai tata hukum nasional itu tidak semuanya menunjukkan modelnya yang khusus secara tersendiri. Di antara tata hukum negara-negara yang ada di dunia ini ada yang mengikuti model hukum dari bangsa lain, sehingga sekian banyak jumlah tata hukum nasional yang ada di dunia, dapat diadakan penelompokkan-pengelompokkan tentang model-modelnya.
          Di antara model-model hukum itu, ada suatu model hukum yang dikenal dengan nama ”Hukum Adat” yaitu suatu model hukum dari suatu suku bangsa sebagai pernyataan hukum dari budaya suku bangsa itu.
          Hukum adat sebagai suatu model hukum, baru mendapat perhatian dari kalangan Ilmu Pengetahuan Hukum yang modern pada permulaan abad ke-XX. Sebelumnya memang sudah lama dilakukan praktek dan pemeliharaannya oleh kalangan ahli-ahli dari suku-suku bangsa Indonesia. Tetapi dengan perhatian ilmiah secara modern, hukum adat kemudian, terutama di Indonesia, mulai mendapat perhatian dan popularitas dalam kalangan sarjana Hukum dan masuk dalam lingkungan studi Hukum yang bertaraf universitair. Sejak itu studi Hukum Adat terus berkembang di Indonesia dengan mengutamakan studi perbandingan tentang lembaga-lembaga dan sistemnya secara ilmu sosial.
          Studi Hukum Adat oleh Van Vollenhoven, yaitu seorang sarjana Hukum Belanda yang mempelopori penemuan dan pengolahan ilmiah secara modern Barat terhadap Hukum Adat, dilihat sebagai studi Barat, yaitu sebagai ”westerse vertolking” (penyajian secara Barat).

Hukum dan bangsa

          Catatan Van Vollenhoven menunjukkan betapa erat persenyawaannya antara hukum dengan budaya suatau bangsa. Hukum suatu bangsa adalah pancaran salah satu aspek budaya bangsa yang bersangkutan dan dibangun dengan segala apa yang menjadi milik budaya bangsa yang bersangkutan. Hal itu karena untuk mengatur hidup bangsa itu dengan mengarah kepada cita-citanya. Dalam pokok-pokoknya bahan-bahan yang dipergunakan untuk membangun itu hukum dapat dibedakan menjadi tiga bahan yaitu bahan riil yang berarti lingkungan hidup yang mengitari hidup bangsa itu. Bahan idiil yaitu cita-cita dan akal budi budaya bangsa itu; ketiga, bahasa bangsa yang bersangkutan sebagai sarana dan alatnya.
          Yang dimaksudkan dengan lingkungan hidup ialah segala keadaan yang meliputi ruang dimana bangsa itu berada, baik mengenai hal-hak yang bersifat fisik maupun yang bersifat suasana. Cita-cita dan akal budaya, meliputi segala apa yang sifatnya rasional maupun irrasional seperti cita-cita dan filsafat hidup bangsa, beserta jalan pemikiran yang diikutinya. Itu semua hanya dapat tepat dan dapat memenuhi sebaik-baiknya segala harapan dan tuntutan bangsa itu bilamana dinyatakan dan dirumuskan dalam bahasa bangsa itu. Karena hanya bahasa dari bangsa yang bersangkutan yang benar-benar sanggup dengan sepenuh-penuhnya menyatakan cita-cita pikiran bangsa yang bersangkutan dengan tepat.
  
BAB II
PERMASALAHAN

1.     Apakah sifat dan corak dari Hukum Adat tersebut?
2.     Bagaimana kedudukan hukum adat jika dipandang secara formil?

BAB III
PEMBAHASAN

A.   Corak Hukum Adat
Corak dari Hukum Adat hanya dapat diketahui dengan secara sungguh-sungguh bilamana diketahui tentang ajaran-ajaran Hukum Adat yang menjadi jiwanya. Ajaran-ajaran itu dapat disimpulkan dari pepatah-pepatah dan petitih-petitih, kata-kata berkias yang mendalam serta hikayat atau riwayat-riwayat yang hidup dan diceritakan dari mulut ke mulut sepanjang generasi yang terus berganti-ganti. Selain itu juga dapat diperiksa praktek ajaran itu yang dituangkan ke dalam keputusan dan pelaksanaan dari lembaga dan prinsip-prinsip Hukum Adat dalam hidup sehari-hari di dalam masyarakat.[2] 
          Corak pertama dari Hukum Adat ialah pandangannya bahwa segala bentuk rumusan Adat yang berupa kata-kata adalah suatu kias saja. Dari itu menjadi tugas bagi kalangan yang menjalankan Hukum Adat untuk banyak mempunyai pengetahuan dan pengalaman agar tahu berbagai  kemungkinan arti kiasan yang dimaksud.[3]
          Dalam hubungannya dengan ini maka Hukum Adat pada masa silam lebih menyukai bentuk tidak tertulis. Karena apa yang tertulis, sebagai suatu bentuk rumusan, dapat mudah menimbulkan salah sangka. Namun begitu, Hukum Adat tidak menolak segala bentuk simbol untuk menyatakan ajaran Adat, baik tertulis maupun bentuk tidak tertulis.
          Corak kedua dari Hukum Adat  ialah bahwa masayarakat sebagai keseluruhan selalu menjadi pokok perhatiannya. Artinya bahwa dalam Hukum Adat kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai suatu kesatuan yang utuh. Individu satu dengan lainnya tidak mungkin hidup menyendiri tanpa terkait dalam persenyawaan cita rasa, akal budinya dan keadaan.
          Disitu Hukum Adat memperhatikan secara utama kepentingan masyarakat secara keseluruhan yang melputi kelanjutan hidup dan eksistensinya yang bersifat lahir dan batin seperti cinta, benci, puji, dendam dan sebagainya yang terdapat dalam hidup bersama antara individu yang menjadi warganya.
          Bagi Hukum Adat yang dipandang secara pokok bukan seseorang individu dalam persoalan hak-haknya, tetapi eksistensi yang sejahtera yan meliputi keseluruhan. Karena keseluruhan yang sejahtera membawa individu yang menjadi warganya juga sejahtera.
          Corak ketiga adalah Hukum Adat lebih mengutamakan bekerja dengan asas-asas pokok saja. Lembaga-lembaga Hukum Adat diisi menurut tuntutan waktu, tempat dan keadaan  dimana segalanya diukur dengan asas pokok yaitu kerukunan, kepatutan, dan kelarasan dalam hidup bersama. Hukum Adat tidak begitu tertarik kepada suatu peraturan hak dan kewajiban yang merinci, ketat dan tepat dengan batasan yang mati tentang artinya. Pengisian lembaga dilakukan dengan memperhatikan soalnya dalam kaitannnya dengan tuntutan waktu atau masa, tempat dan keadaan atau suasana dalam kerangka toleransi antara ketiga asas-asas Adat tersebut diatas. Dari ini maka Hukum Adat oleh kalangan ilmu pengetahuan Barat disebut juga sebagai bersifat ”konkrit”.

Corak keempat ialah pemberian kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugas Hukum Adat untuk melaksanakan Hukum Adat. Hal ini dapat dikatakan sebagai konsekuensi watak ketiga, yang hanya mencukupkan diri dengan asas-asas pokok dari kerangka kelembagaannya saja. Dari itu perinciannya menuntut keahlian, kejujuran dan wawasan kebijaksanaan yang memadai untuk menjadi petugas hukum adat.
          Disini pula kekhususan Hukum Adat  mengenai kedudukan petugas Hukumnya. Dengan kepercayaan yang begitu besar untuk menggarap asas-asas pokok itu maka terhadap soal diri pribadi petugas Hukum, Hukum Adat menuntut terbuktinya dalam kenyataan dan pengalaman tentang dipenuhinya persyaratan-persyaratan kecakapan, kejujuran dan kesusilaan serta kepemimpinan yang tinggi dari seseorang untuk dapat menjadi petugas Hukum Adat.
          Empat butir corak pokok diatas merupakan hal-hal yang memberi Hukum Adat memiliki sifat-sifat konkrit, supel dan dinamis.
          Menurut Sepomo bahwa corak-corak atau pola-pola tertentu di dalam Hukum Adat yang merupakan perwujudan perwujudan dari struktur kejiwaan dan cara berpikir yang tertentu, adalah sebagai berikut:[4]
1.     Mempunyai  sifat kebersamaan yang kuat.
2.     Mempunyai corak magis-religis.
3.     Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba konkret.
4.     Hukum Adat mempunyai sifat visual.
         

 B.   Sifat Hukum Adat
Para pengamat Hukum Adat dari kalangan pengetahuan Hukum di Barat, melihat Hukum Adat bersifat konkrit, supel dan dinamis.

Konkrit[5]
          Sebagaimana disebut diatas, Hukum Adat sangat memperthatikan  setiap persoalan yang dihadapkan kepadanya secara khusus dengan pendirian bahwa setiap soal tidak sama dengan soal yang lainnya  sekalipun serupa. Setiap soal perlu mendapat perlakuan yang khusus sesuai dengan individualitasnya tersebut. Pengaturannya tidak dibuat secara apriori, akan tetapi selalu situsional dan individual. Dalam wawasan Hukum Adat tidak ada soal yang serupa dan sama. Setiap soal selalu menuntut perlakuan yang tersendiri secara khusus dan tidak atas dasar aturan yang umum dan abstrak.
          Karena itu Hukum Adat juga memerlukan bahan-bahan yang empiris nyata yang memudahkan mengerjakannya dengan baik, cepat dan sesuai. Untuk ini maka setiap soal Hukum Adat diarahkan terlebih dahulu kepada peemuan kelembagaannya dengan mempergunakan bahan-bahan yang nyata yang tersedia dan bersangkutan dengan soalnya.

Supel
          Hukum Adat dalam dirinya dibangun dengan asas-asas pokok saja. Soal-soal detail yang diserahkan kepada pengolahan asas-asas pokok itu dengan memperhatikan situasi kondisi dan waktu yang dihadapi.
          Dalam praktek Hukum Adat, tidak ada sesuatu soal yang tidak dapat dicari penyelesaiannya karena Hukum Adat dapat mencari penyelesaiannya karena Hukum adat dapat mencari penyelesaian dengan tidak mempergunakan aturan-aturan yang detail yang tertulis. Bagi Hukum Adat cukup dengan adanya asas-asas pokok yang umum, yang pengisiannya diarahkan kepada sasaran tercapai suatu suasana masyarakat yang aman tenteram sejahtera, baik antara para pihak yang bersangkutan maupun masyarakatnya secara keseluruhan.
          Dalam kerangka tujuan ini dalam Hukum Adat dipertahankan suatu suasana dimana setiap konflik memperoleh penyelesaian tuntas yaitu suatu penyelesaian menyeluruh yang menjawab segala aspek yang ada dan yang mungkin di kemudian hari ada, dan tidak dapat ada lagi soal tambahan di kemudian hari.
          Hukum Adat lebih mengutamakan tercapainya tujuan ini daripada memegang teguh suatu ketentuan merinci yang pernah ditemukan. Yang dipentingkan dalam Hukum Adat  dalam menyelesaikan sesuatu soal ialah diperhatikannya asas ”desa, kala, patra” (waktu, tempat, dan keadaan) dari sesuatu persoalan dalam usaha menerapkan asas-asas kerja kerukunan, kepatutan dan kelarasan. Ini yang merupakan fokus untuk usaha menemukan jawaban yang menjadi dasar pokok dalam persoalan yang dihadapi.
          Dengan berpegang kepada ketiga asas diatas, Hukum Adat terlihat sebagai hukum yang bersifat luwes atau supel.

Dinamis
           Hukum Adat pada prinsipnya adalah Hukum Rakyat. Tidak ada suatu badan pembuatannya secara pasti ditetapkan untuk membuat peraturan baru pada setiap ada perubahan keadaan dan perubahan kebutuhan hukum. Sebagai Hukum Rakyat yang mengatur kehidupan yang terus menerus berubah dan berkembang pembuatannya adalah rakyat sendiri. Hukum Adat karena itu menjalani perubahan-perubahan yang terus menerus melalui keputusan-keputusan atau penyelesaian-penyelesaian yang dikeluarkan oleh masyarakat sebagai hasil temu rasa dan temu pikir melalui permusyawaratan. Dalam hal itu setiap perkembangan yang terjadi selalu diusahakan mendapat tempatnya didalam tata Hukum Adat. Hal-hal yang lama dan tidak lagi dapat dipergunakan atau dipakai, secara perlahan diubah atau ditinggalkan.
          Dengan jalan selalu mengikuti perubahan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan kehidupan, tidak dimaksudkan bahwa Hukum Adat lalu lambat laun akan hilang dasar-dasarnya. Didalam Hukum Adat ada dua pokok yang perlu menjadi perhatian. Pertama ialah Adatnya sendiri, kedua adalah lembaga-lembaga yang merupakan tempat dilaksanakannya asas-asas Dasar Hukum Adat.

 C.   Kedudukan Hukum Adat secara formil
Didalam perundangan Indonesia, yang dasarnya Undang-Undang Dasar 1945 yang sekarang berlaku, hanya ada satu Undang-Undang saja yang dengan jelas dan tegas menyebutkan Hukum Adat yaitu Undang-Undang Pokok Agraria No. 1 tahun 1960.[6]
Didalam lingkungan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia hanya ada satu ketetapan yang menyebutkan, dan diletakkan di dalam lampiran dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II tahun 1960.[7] Apa yang ditentukan dalam  Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria 1960 itu adalah sebagai pelaksanaan saja dari Ketetapan Majelis di atas yang menegakkan bahwa landasan Hukum Agraria Nasional ialah Hukum Adat.[8]
          Sedangkan kalau UU mengenai masyarakat Hukum Adat terdapat didalam UUD 1945 hasil amandemen ke dua pasal 18B ayat 2 dan 3 yang berbunyi:
Pasal 18B ayat (2)
”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Pasal 28I ayat (3)
”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.[9]

Bilamana diperiksa secara teliti kemauan yang ada di dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Dasar ini hanya dapat dimengerti dengan sejarah terjadinya. Dengan memperhatikan hal itu ternyata yang ditentukan dalam Pembukaan dan dalam Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya adalah suatu hasil perkembangan sejarah yang panjang yang berkaitan  degan peristiwa tahun 1962 yaitu Kongres Pemuda Indonesia yang pertama. Dalam Kongres itu lahir bibit-bibit pikiran-pikiran dan jiwa Nasional Indonesia. Di dalam tahun 1928, diadakan Kongres Pemuda Indonesia yang ke II. Di dalam kongres itu lahir inti jiwa nasional yang dirumuskan dengan ringkas dan jelas di dalam keputusan kongres tersebut yang dewasa ini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Dalam keputusan tersebut yang paling penting untuk Hukum Adat ialah pernyataan bahwa yang memperkuat persatuan Indonesia antara lain adalah ”Hukum adat”.[10]
Disini untuk pertama kali dalam sejarah di Indonesia Hukum adat mendapatkan suatu tempat dalam alam ideologi kebangsaan Indonesia. Dengan itu pula tecermin suatu pemikiran Hukum Adat secara Ideologi yang mempunyai skala lingkungan kuasanya yang meluas, yaitu dari lingkup lokal, menjadi lingkup nasional.
Sejak itu pergerakan  kebangsaan menunjukkan dalam segala langkah tindakannya berpegangan kepada dasar-dasar Hukum Adat seperti kekeluargaan, gotong royong dan musyawarah-mufakat. Praktek asas-asas Hukum Adat ini berkembang terus dalam perjuangan mencapai kemerdekaan.
Tradisi hukum di Indonesia telah berlangsung sejak lama, jauh sebelum masyarakat Indonesia berkenalan dengan tradisi hukum Barat. Bahkan, pada beberapa daerah di Indonesia, hingga kini hukum adat telah menjadi panduan utama dalam hidup bermasyarakat, meskipun saat ini telah ada norma hukum nasional. Tradisi hukum Barat pada awalnya dibangun melalui pemaksaan terhadap masyarakat Nusantara. Meskipun demikian, masa penjajahan yang berlangsung berabad-abad telah meciptakan praktek hukum Barat (Belanda) yang cukup luas dan dalam waktu yang lama. Hal inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia tidak bisa keluar dari praktek sistem hukum Barat tersebut. Sehingga, setelah Indonesia merdeka, sistem hukum Baratlah yang diterjemahkan menjadi hukum nasional.[11]
Dengan itu secara sejarah, sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar 1945, Hukum adat telah menjelmakan dirinya diwujudkan pada satu pihak dalam wujud Hukum Dasar Tidak Tertulis. Di lain pihak sebagai Hukum Dasar Tertulis yaitu Undang-Undang Dasar yang memuat pokok-pokok instruksi saja yang dapat dicari kelengkapannya dalam tidak tertulis.
Dilihat dari pandangan ini, Hukum adat dewasa ini Indonesia, menjadi Hukum Dasar Negara. Sebagai demikian segala peraturan yang tertulis sebagai produk legislatif maupun pemerintahan, batu pengujiannya ialah Hukum Dasar Tidak Tertulis atau oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 disebut Semangat yang dalam intinya tidak lain adalah filsafat hukum itu.  
Hukum tertulis yang tidak didasarkan pada Hukum Adat yang telah mengalami saringan, tidak akan mempunyai basis sosial yang kuat. Artinya, hukum tertulis tersebut goyah dan nantinya menjadi hukum yang mati, oleh karena tidak efektif. Tidak efektifnya hukum tertulis akan mengakibatkan merosotnya wibawa hukum, termasuk wibawa para penegaknya.[12]

          BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A.   Kesimpulan
1)     Corak-corak yang terdapat di dalam Hukum Adat yaitu:
a)     Corak pertama dari Hukum Adat ialah pandangannya bahwa segala bentuk rumusan Adat yang berupa kata-kata adalah suatu kias saja.
b)    Corak kedua dari Hukum Adat  ialah bahwa masayarakat sebagai keseluruhan selalu menjadi pokok perhatiannya.
c)     Corak ketiga adalah Hukum Adat lebih mengutamakan bekerja dengan asas-asas pokok saja.
d)    Corak keempat ialah pemberian kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugas Hukum Adat untuk melaksanakan Hukum Adat.

2)     Berdasarkan pengamatan dari para pengamat Hukum Adat dari kalangan pengetahuan Hukum di Barat, melihat Hukum Adat bersifat:
a)     Konkrit
Setiap persoalan yang dihadapkan kepadanya secara khusus dengan pendirian bahwa setiap soal tidak sama dengan soal yang lainnya  sekalipun serupa. Setiap soal perlu mendapat perlakuan yang khusus sesuai dengan individualitasnya tersebut. Pengaturannya tidak dibuat secara apriori, akan tetapi selalu situsional dan individual. Dalam wawasan Hukum Adat tidak ada soal yang serupa dan sama. Setiap soal selalu menuntut perlakuan yang tersendiri secara khusus dan tidak atas dasar aturan yang umum dan abstrak.
  
b)    Supel
Yang dipentingkan dalam Hukum Adat  dalam menyelesaikan sesuatu soal ialah diperhatikannya asas ”desa, kala, patra” (waktu, tempat, dan keadaan) dari sesuatu persoalan dalam usaha menerapkan asas-asas kerja kerukunan, kepatutan dan kelarasan. Dengan berpegang kepada ketiga asas diatas, Hukum Adat terlihat sebagai hukum yang bersifat luwes atau supel.

c)     Dinamis
Dengan jalan selalu mengikuti perubahan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan kehidupan, tidak dimaksudkan bahwa Hukum Adat lalu lambat laun akan hilang dasar-dasarnya. Didalam Hukum Adat ada dua pokok yang perlu menjadi perhatian. Pertama ialah Adatnya sendiri, kedua adalah lembaga-lembaga yang merupakan tempat dilaksanakannya asas-asas Dasar Hukum Adat.

3)     Kedudukan Hukum Adat secara Formil
Dengan itu secara sejarah, sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar 1945, Hukum adat telah menjelmakan dirinya diwujudkan pada satu pihak dalam wujud Hukum Dasar Tidak Tertulis. Di lain pihak sebagai Hukum Dasar Tertulis yaitu Undang-Undang Dasar yang memuat pokok-pokok instruksi saja yang dapat dicari kelengkapannya dalam tidak tertulis.
Dilihat dari pandangan ini, Hukum adat dewasa ini Indonesia, menjadi Hukum Dasar Negara. Sebagai demikian segala peraturan yang tertulis sebagai produk legislatif maupun pemerintahan, batu pengujiannya ialah Hukum Dasar Tidak Tertulis atau oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 disebut Semangat yang dalam intinya tidak lain adalah filsafat hukum itu. 
  
B.   Saran
Menurut saya, adat dari berbagai suku yang ada di Indonesia harus dijaga dan dilestarikan keberadaannya, karena berasal dari sinilah Hukum Adat timbul. Sehingga dasar-dasar dari Hukum Adat tersebut tidak terkikis dan hilang dikarenakan perkembangan zaman yang sangat cepat.

   
DAFTAR PUSTAKA

1)     Kosnoe M. Prof, Dr, H, SH. Hukum Adat sebagai suatu model hukum, Penerbit CV. Mandat Maju Bandung 1992.
2)     Soekanto Soerjono. Hukum Adat Indonesia, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada Jakarta 1983.
3)     http://www.mahkamahkonstitusi.go.id”
4)     ”http://www.hukumonline.com.”


[1] Lihat Moh. Kosnoe, ”Hukum Adat sebagai suatu model hukum”, 1992 Bandung hal 1-3.
[2] Berbeda dengan ilmu Hukum Adat Modern yaitu yang tidak memperhatikan segi ajaran Adat, tetapi menekankan pengetahuannya kepada bahan-bahan empiris yang terdapat di dalam praktek yang berupa dalam kasus-kasus konkret. Bahan-bahan empiris sedemikian diolah menurut teori pengolahan Barat sehingga akhirnya mencapai suatu kesimpulan yang menurut ukuran teori Barat dapat diterima. Dari itu kemudian disusun ilmu pengetahuan yang modern tentang Hukum Adat.
[3] Lihat Moh. Kosnoe, ”Hukum Adat sebagai suatu model hukum”, 1992 Bandung hal 7-10.  
[4] Lihat Soerjono Soekanto “Hukum Adat Indonesia”, 1983 Jakarta hal 125 - 126
[5] Lihat Moh. Kosnoe, ”Hukum Adat sebagai suatu model hukum”, 1992 Bandung hal 10 - 14.
[6] Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria No. 1/1960
[7] Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/1960 Lampiran III A bidang Pemerintahan dan Keamanan/Pertahanan No. 35.
[8] Lihat Moh. Kosnoe, ”Hukum Adat sebagai suatu model hukum”, 1992 Bandung hal 20-23.
[9] Dikutip dari  ”http//:www.hukumonline.com”.
[10] Periksa isi teks lengkap “Keputusan Kongres Pemuda Indonesia tahun 1928” dalam lampiran.
[11] Dikutip dari ”http://www.mahkamahkonstitusi.go.id”
[12] Lihat Soerjono Soekanto “Hukum Adat Indonesia”, 1983 Jakarta hal 378.

Leave a Reply

Silahkan Kritik, Saran atau Komentarnya

RezaRahmat Blog. Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Teman