Hukum Adat Di Dalam Hukum Formil
Posted on Sabtu, 04 Agustus 2012
|
No Comments
BAB I
PENDAHULUAN
Diseluruh dunia dewasa ini mempunyai
tata hukumnya sendiri-sendiri yang diperlakukan didalam lingkungan batas-batas
wilayahnya. Tidak ada sesuatu bangsa yang tidak nasionalnya sendiri.[1]
Dari berbagai tata hukum nasional itu
tidak semuanya menunjukkan modelnya yang khusus secara tersendiri. Di antara
tata hukum negara-negara yang ada di dunia ini ada yang mengikuti model hukum
dari bangsa lain, sehingga sekian banyak jumlah tata hukum nasional yang ada di
dunia, dapat diadakan penelompokkan-pengelompokkan tentang model-modelnya.
Di antara model-model hukum itu, ada
suatu model hukum yang dikenal dengan nama ”Hukum
Adat” yaitu suatu model hukum dari suatu suku bangsa sebagai pernyataan
hukum dari budaya suku bangsa itu.
Hukum adat sebagai suatu model hukum,
baru mendapat perhatian dari kalangan Ilmu Pengetahuan Hukum yang modern pada
permulaan abad ke-XX. Sebelumnya memang sudah lama dilakukan praktek dan
pemeliharaannya oleh kalangan ahli-ahli dari suku-suku bangsa Indonesia. Tetapi
dengan perhatian ilmiah secara modern, hukum adat kemudian, terutama di
Indonesia, mulai mendapat perhatian dan popularitas dalam kalangan sarjana
Hukum dan masuk dalam lingkungan studi Hukum yang bertaraf universitair. Sejak
itu studi Hukum Adat terus berkembang di Indonesia dengan mengutamakan studi
perbandingan tentang lembaga-lembaga dan sistemnya secara ilmu sosial.
Studi Hukum Adat oleh Van Vollenhoven,
yaitu seorang sarjana Hukum Belanda yang mempelopori penemuan dan pengolahan
ilmiah secara modern Barat terhadap Hukum Adat, dilihat sebagai studi Barat,
yaitu sebagai ”westerse vertolking” (penyajian
secara Barat).
Hukum dan bangsa
Catatan Van Vollenhoven menunjukkan
betapa erat persenyawaannya antara hukum dengan budaya suatau bangsa. Hukum
suatu bangsa adalah pancaran salah satu aspek budaya bangsa yang bersangkutan
dan dibangun dengan segala apa yang menjadi milik budaya bangsa yang
bersangkutan. Hal itu karena untuk mengatur hidup bangsa itu dengan mengarah
kepada cita-citanya. Dalam pokok-pokoknya bahan-bahan yang dipergunakan untuk
membangun itu hukum dapat dibedakan menjadi tiga bahan yaitu bahan riil yang
berarti lingkungan hidup yang mengitari hidup bangsa itu. Bahan idiil yaitu
cita-cita dan akal budi budaya bangsa itu; ketiga, bahasa bangsa yang
bersangkutan sebagai sarana dan alatnya.
Yang dimaksudkan dengan lingkungan
hidup ialah segala keadaan yang meliputi ruang dimana bangsa itu berada, baik
mengenai hal-hak yang bersifat fisik maupun yang bersifat suasana. Cita-cita
dan akal budaya, meliputi segala apa yang sifatnya rasional maupun irrasional
seperti cita-cita dan filsafat hidup bangsa, beserta jalan pemikiran yang
diikutinya. Itu semua hanya dapat tepat dan dapat memenuhi sebaik-baiknya
segala harapan dan tuntutan bangsa itu bilamana dinyatakan dan dirumuskan dalam
bahasa bangsa itu. Karena hanya bahasa dari bangsa yang bersangkutan yang
benar-benar sanggup dengan sepenuh-penuhnya menyatakan cita-cita pikiran bangsa
yang bersangkutan dengan tepat.
BAB II
PERMASALAHAN
1.
Apakah sifat dan corak dari Hukum Adat
tersebut?
2.
Bagaimana kedudukan hukum adat jika
dipandang secara formil?
BAB III
PEMBAHASAN
A. Corak Hukum Adat
Corak
dari Hukum Adat hanya dapat diketahui dengan secara sungguh-sungguh bilamana
diketahui tentang ajaran-ajaran Hukum Adat yang menjadi jiwanya. Ajaran-ajaran
itu dapat disimpulkan dari pepatah-pepatah dan petitih-petitih, kata-kata
berkias yang mendalam serta hikayat atau riwayat-riwayat yang hidup dan
diceritakan dari mulut ke mulut sepanjang generasi yang terus berganti-ganti.
Selain itu juga dapat diperiksa praktek ajaran itu yang dituangkan ke dalam
keputusan dan pelaksanaan dari lembaga dan prinsip-prinsip Hukum Adat dalam
hidup sehari-hari di dalam masyarakat.[2]
Corak pertama dari Hukum Adat ialah
pandangannya bahwa segala bentuk rumusan Adat yang berupa kata-kata adalah
suatu kias saja. Dari itu menjadi tugas bagi kalangan yang menjalankan Hukum
Adat untuk banyak mempunyai pengetahuan dan pengalaman agar tahu berbagai kemungkinan arti kiasan yang dimaksud.[3]
Dalam hubungannya dengan ini maka
Hukum Adat pada masa silam lebih menyukai bentuk tidak tertulis. Karena apa
yang tertulis, sebagai suatu bentuk rumusan, dapat mudah menimbulkan salah
sangka. Namun begitu, Hukum Adat tidak menolak segala bentuk simbol untuk menyatakan
ajaran Adat, baik tertulis maupun bentuk tidak tertulis.
Corak kedua dari Hukum Adat ialah bahwa masayarakat sebagai keseluruhan
selalu menjadi pokok perhatiannya. Artinya bahwa dalam Hukum Adat kehidupan
manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai suatu kesatuan yang utuh.
Individu satu dengan lainnya tidak mungkin hidup menyendiri tanpa terkait dalam
persenyawaan cita rasa, akal budinya dan keadaan.
Disitu Hukum Adat memperhatikan secara
utama kepentingan masyarakat secara keseluruhan yang melputi kelanjutan hidup
dan eksistensinya yang bersifat lahir dan batin seperti cinta, benci, puji,
dendam dan sebagainya yang terdapat dalam hidup bersama antara individu yang
menjadi warganya.
Bagi Hukum Adat yang dipandang secara
pokok bukan seseorang individu dalam persoalan hak-haknya, tetapi eksistensi
yang sejahtera yan meliputi keseluruhan. Karena keseluruhan yang sejahtera
membawa individu yang menjadi warganya juga sejahtera.
Corak ketiga adalah Hukum Adat lebih mengutamakan
bekerja dengan asas-asas pokok saja. Lembaga-lembaga Hukum Adat diisi menurut
tuntutan waktu, tempat dan keadaan
dimana segalanya diukur dengan asas pokok yaitu kerukunan, kepatutan,
dan kelarasan dalam hidup bersama. Hukum Adat tidak begitu tertarik kepada
suatu peraturan hak dan kewajiban yang merinci, ketat dan tepat dengan batasan
yang mati tentang artinya. Pengisian lembaga dilakukan dengan memperhatikan
soalnya dalam kaitannnya dengan tuntutan waktu atau masa, tempat dan keadaan
atau suasana dalam kerangka toleransi antara ketiga asas-asas Adat tersebut
diatas. Dari ini maka Hukum Adat oleh kalangan ilmu pengetahuan Barat disebut
juga sebagai bersifat ”konkrit”.
Corak keempat
ialah pemberian kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugas Hukum Adat
untuk melaksanakan Hukum Adat. Hal ini dapat dikatakan sebagai konsekuensi
watak ketiga, yang hanya mencukupkan diri dengan asas-asas pokok dari kerangka
kelembagaannya saja. Dari itu perinciannya menuntut keahlian, kejujuran dan
wawasan kebijaksanaan yang memadai untuk menjadi petugas hukum adat.
Disini pula kekhususan Hukum Adat mengenai kedudukan petugas Hukumnya. Dengan
kepercayaan yang begitu besar untuk menggarap asas-asas pokok itu maka terhadap
soal diri pribadi petugas Hukum, Hukum Adat menuntut terbuktinya dalam
kenyataan dan pengalaman tentang dipenuhinya persyaratan-persyaratan kecakapan,
kejujuran dan kesusilaan serta kepemimpinan yang tinggi dari seseorang untuk
dapat menjadi petugas Hukum Adat.
Empat butir corak pokok diatas
merupakan hal-hal yang memberi Hukum Adat memiliki sifat-sifat konkrit, supel
dan dinamis.
Menurut Sepomo bahwa corak-corak atau
pola-pola tertentu di dalam Hukum Adat yang merupakan perwujudan perwujudan
dari struktur kejiwaan dan cara berpikir yang tertentu, adalah sebagai berikut:[4]
1.
Mempunyai sifat kebersamaan yang kuat.
2.
Mempunyai corak magis-religis.
3.
Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran
serba konkret.
4.
Hukum Adat mempunyai sifat visual.
B. Sifat Hukum Adat
Para
pengamat Hukum Adat dari kalangan pengetahuan Hukum di Barat, melihat Hukum
Adat bersifat konkrit, supel dan dinamis.
Konkrit[5]
Sebagaimana disebut diatas, Hukum Adat
sangat memperthatikan setiap persoalan
yang dihadapkan kepadanya secara khusus dengan pendirian bahwa setiap soal
tidak sama dengan soal yang lainnya
sekalipun serupa. Setiap soal perlu mendapat perlakuan yang khusus
sesuai dengan individualitasnya tersebut. Pengaturannya tidak dibuat secara
apriori, akan tetapi selalu situsional dan individual. Dalam wawasan Hukum Adat
tidak ada soal yang serupa dan sama. Setiap soal selalu menuntut perlakuan yang
tersendiri secara khusus dan tidak atas dasar aturan yang umum dan abstrak.
Karena itu Hukum Adat juga memerlukan
bahan-bahan yang empiris nyata yang memudahkan mengerjakannya dengan baik,
cepat dan sesuai. Untuk ini maka setiap soal Hukum Adat diarahkan terlebih
dahulu kepada peemuan kelembagaannya dengan mempergunakan bahan-bahan yang
nyata yang tersedia dan bersangkutan dengan soalnya.
Supel
Hukum
Adat dalam dirinya dibangun dengan asas-asas pokok saja. Soal-soal detail yang
diserahkan kepada pengolahan asas-asas pokok itu dengan memperhatikan situasi
kondisi dan waktu yang dihadapi.
Dalam praktek Hukum Adat, tidak ada
sesuatu soal yang tidak dapat dicari penyelesaiannya karena Hukum Adat dapat
mencari penyelesaiannya karena Hukum adat dapat mencari penyelesaian dengan
tidak mempergunakan aturan-aturan yang detail yang tertulis. Bagi Hukum Adat
cukup dengan adanya asas-asas pokok yang umum, yang pengisiannya diarahkan
kepada sasaran tercapai suatu suasana masyarakat yang aman tenteram sejahtera,
baik antara para pihak yang bersangkutan maupun masyarakatnya secara
keseluruhan.
Dalam kerangka tujuan ini dalam Hukum
Adat dipertahankan suatu suasana dimana setiap konflik memperoleh penyelesaian
tuntas yaitu suatu penyelesaian menyeluruh yang menjawab segala aspek yang ada
dan yang mungkin di kemudian hari ada, dan tidak dapat ada lagi soal tambahan
di kemudian hari.
Hukum Adat lebih mengutamakan
tercapainya tujuan ini daripada memegang teguh suatu ketentuan merinci yang
pernah ditemukan. Yang dipentingkan dalam Hukum Adat dalam menyelesaikan sesuatu soal ialah
diperhatikannya asas ”desa, kala, patra”
(waktu, tempat, dan keadaan) dari sesuatu persoalan dalam usaha menerapkan
asas-asas kerja kerukunan, kepatutan dan kelarasan. Ini yang merupakan fokus
untuk usaha menemukan jawaban yang menjadi dasar pokok dalam persoalan yang
dihadapi.
Dengan berpegang kepada ketiga asas
diatas, Hukum Adat terlihat sebagai hukum yang bersifat luwes atau supel.
Dinamis
Hukum Adat pada prinsipnya adalah
Hukum Rakyat. Tidak ada suatu badan pembuatannya secara pasti ditetapkan untuk
membuat peraturan baru pada setiap ada perubahan keadaan dan perubahan
kebutuhan hukum. Sebagai Hukum Rakyat yang mengatur kehidupan yang terus menerus
berubah dan berkembang pembuatannya adalah rakyat sendiri. Hukum Adat karena
itu menjalani perubahan-perubahan yang terus menerus melalui
keputusan-keputusan atau penyelesaian-penyelesaian yang dikeluarkan oleh
masyarakat sebagai hasil temu rasa dan temu pikir melalui permusyawaratan.
Dalam hal itu setiap perkembangan yang terjadi selalu diusahakan mendapat
tempatnya didalam tata Hukum Adat. Hal-hal yang lama dan tidak lagi dapat
dipergunakan atau dipakai, secara perlahan diubah atau ditinggalkan.
Dengan jalan selalu mengikuti
perubahan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan kehidupan, tidak dimaksudkan
bahwa Hukum Adat lalu lambat laun akan hilang dasar-dasarnya. Didalam Hukum
Adat ada dua pokok yang perlu menjadi perhatian. Pertama ialah Adatnya sendiri,
kedua adalah lembaga-lembaga yang merupakan tempat dilaksanakannya asas-asas
Dasar Hukum Adat.
C. Kedudukan Hukum Adat secara formil
Didalam
perundangan Indonesia, yang dasarnya Undang-Undang Dasar 1945 yang sekarang
berlaku, hanya ada satu Undang-Undang saja yang dengan jelas dan tegas
menyebutkan Hukum Adat yaitu Undang-Undang Pokok Agraria No. 1 tahun 1960.[6]
Didalam
lingkungan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia hanya ada satu
ketetapan yang menyebutkan, dan diletakkan di dalam lampiran dari Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II tahun 1960.[7]
Apa yang ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang
Pokok Agraria 1960 itu adalah sebagai pelaksanaan saja dari Ketetapan Majelis
di atas yang menegakkan bahwa landasan Hukum Agraria Nasional ialah Hukum Adat.[8]
Sedangkan kalau UU mengenai masyarakat
Hukum Adat terdapat didalam UUD 1945 hasil amandemen ke dua pasal 18B ayat 2
dan 3 yang berbunyi:
Pasal 18B ayat (2)
”Negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Pasal 28I ayat (3)
”Identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban”.[9]
Bilamana
diperiksa secara teliti kemauan yang ada di dalam Penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945, Undang-Undang Dasar ini hanya dapat dimengerti dengan sejarah
terjadinya. Dengan memperhatikan hal itu ternyata yang ditentukan dalam
Pembukaan dan dalam Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya adalah suatu
hasil perkembangan sejarah yang panjang yang berkaitan degan peristiwa tahun 1962 yaitu Kongres
Pemuda Indonesia yang pertama. Dalam Kongres itu lahir bibit-bibit
pikiran-pikiran dan jiwa Nasional Indonesia. Di dalam tahun 1928, diadakan
Kongres Pemuda Indonesia yang ke II. Di dalam kongres itu lahir inti jiwa
nasional yang dirumuskan dengan ringkas dan jelas di dalam keputusan kongres
tersebut yang dewasa ini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Dalam
keputusan tersebut yang paling penting untuk Hukum Adat ialah pernyataan bahwa
yang memperkuat persatuan Indonesia antara lain adalah ”Hukum adat”.[10]
Disini
untuk pertama kali dalam sejarah di Indonesia Hukum adat mendapatkan suatu
tempat dalam alam ideologi kebangsaan Indonesia. Dengan itu pula tecermin suatu
pemikiran Hukum Adat secara Ideologi yang mempunyai skala lingkungan kuasanya
yang meluas, yaitu dari lingkup lokal, menjadi lingkup nasional.
Sejak
itu pergerakan kebangsaan menunjukkan
dalam segala langkah tindakannya berpegangan kepada dasar-dasar Hukum Adat
seperti kekeluargaan, gotong royong dan musyawarah-mufakat. Praktek asas-asas
Hukum Adat ini berkembang terus dalam perjuangan mencapai kemerdekaan.
Tradisi hukum di Indonesia telah berlangsung sejak lama, jauh sebelum
masyarakat Indonesia berkenalan dengan tradisi hukum Barat. Bahkan, pada
beberapa daerah di Indonesia, hingga kini hukum adat telah menjadi panduan
utama dalam hidup bermasyarakat, meskipun saat ini telah ada norma hukum
nasional. Tradisi hukum Barat pada awalnya dibangun melalui pemaksaan terhadap
masyarakat Nusantara. Meskipun demikian, masa penjajahan yang berlangsung
berabad-abad telah meciptakan praktek hukum Barat (Belanda) yang cukup luas dan
dalam waktu yang lama. Hal inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia tidak bisa
keluar dari praktek sistem hukum Barat tersebut. Sehingga, setelah Indonesia
merdeka, sistem hukum Baratlah yang diterjemahkan menjadi hukum nasional.[11]
Dengan
itu secara sejarah, sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar 1945,
Hukum adat telah menjelmakan dirinya diwujudkan pada satu pihak dalam wujud
Hukum Dasar Tidak Tertulis. Di lain pihak sebagai Hukum Dasar Tertulis yaitu
Undang-Undang Dasar yang memuat pokok-pokok instruksi saja yang dapat dicari
kelengkapannya dalam tidak tertulis.
Dilihat
dari pandangan ini, Hukum adat dewasa ini Indonesia, menjadi Hukum Dasar
Negara. Sebagai demikian segala peraturan yang tertulis sebagai produk
legislatif maupun pemerintahan, batu pengujiannya ialah Hukum Dasar Tidak
Tertulis atau oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 disebut Semangat
yang dalam intinya tidak lain adalah filsafat hukum itu.
Hukum
tertulis yang tidak didasarkan pada Hukum Adat yang telah mengalami saringan,
tidak akan mempunyai basis sosial yang kuat. Artinya, hukum tertulis tersebut
goyah dan nantinya menjadi hukum yang mati, oleh karena tidak efektif. Tidak
efektifnya hukum tertulis akan mengakibatkan merosotnya wibawa hukum, termasuk
wibawa para penegaknya.[12]
BAB IV
KESIMPULAN DAN
SARAN
A. Kesimpulan
1)
Corak-corak yang terdapat di dalam Hukum
Adat yaitu:
a)
Corak pertama dari Hukum Adat ialah
pandangannya bahwa segala bentuk rumusan Adat yang berupa kata-kata adalah suatu
kias saja.
b)
Corak kedua dari Hukum Adat ialah bahwa masayarakat sebagai keseluruhan
selalu menjadi pokok perhatiannya.
c)
Corak ketiga adalah Hukum Adat lebih
mengutamakan bekerja dengan asas-asas pokok saja.
d)
Corak keempat ialah pemberian
kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugas Hukum Adat untuk
melaksanakan Hukum Adat.
2)
Berdasarkan pengamatan dari para
pengamat Hukum Adat dari kalangan pengetahuan Hukum di Barat, melihat Hukum
Adat bersifat:
a)
Konkrit
Setiap
persoalan yang dihadapkan kepadanya secara khusus dengan pendirian bahwa setiap
soal tidak sama dengan soal yang lainnya
sekalipun serupa. Setiap soal perlu mendapat perlakuan yang khusus
sesuai dengan individualitasnya tersebut. Pengaturannya tidak dibuat secara
apriori, akan tetapi selalu situsional dan individual. Dalam wawasan Hukum Adat
tidak ada soal yang serupa dan sama. Setiap soal selalu menuntut perlakuan yang
tersendiri secara khusus dan tidak atas dasar aturan yang umum dan abstrak.
b)
Supel
Yang
dipentingkan dalam Hukum Adat dalam
menyelesaikan sesuatu soal ialah diperhatikannya asas ”desa, kala, patra” (waktu, tempat, dan keadaan) dari sesuatu
persoalan dalam usaha menerapkan asas-asas kerja kerukunan, kepatutan dan
kelarasan. Dengan berpegang kepada ketiga asas diatas, Hukum Adat terlihat
sebagai hukum yang bersifat luwes atau supel.
c)
Dinamis
Dengan
jalan selalu mengikuti perubahan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan
kehidupan, tidak dimaksudkan bahwa Hukum Adat lalu lambat laun akan hilang
dasar-dasarnya. Didalam Hukum Adat ada dua pokok yang perlu menjadi perhatian.
Pertama ialah Adatnya sendiri, kedua adalah lembaga-lembaga yang merupakan
tempat dilaksanakannya asas-asas Dasar Hukum Adat.
3)
Kedudukan Hukum Adat secara Formil
Dengan itu secara sejarah, sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar
1945, Hukum adat telah menjelmakan dirinya diwujudkan pada satu pihak dalam
wujud Hukum Dasar Tidak Tertulis. Di lain pihak sebagai Hukum Dasar Tertulis
yaitu Undang-Undang Dasar yang memuat pokok-pokok instruksi saja yang dapat dicari
kelengkapannya dalam tidak tertulis.
Dilihat dari pandangan ini, Hukum adat dewasa ini Indonesia, menjadi Hukum
Dasar Negara. Sebagai demikian segala peraturan yang tertulis sebagai produk
legislatif maupun pemerintahan, batu pengujiannya ialah Hukum Dasar Tidak
Tertulis atau oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 disebut Semangat
yang dalam intinya tidak lain adalah filsafat hukum itu.
B. Saran
Menurut
saya, adat dari berbagai suku yang ada di Indonesia harus dijaga dan
dilestarikan keberadaannya, karena berasal dari sinilah Hukum Adat timbul.
Sehingga dasar-dasar dari Hukum Adat tersebut tidak terkikis dan hilang
dikarenakan perkembangan zaman yang sangat cepat.
DAFTAR
PUSTAKA
1)
Kosnoe M. Prof, Dr, H, SH. Hukum Adat sebagai suatu model hukum,
Penerbit CV. Mandat Maju Bandung 1992.
2)
Soekanto Soerjono. Hukum Adat Indonesia, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada Jakarta
1983.
3)
”http://www.mahkamahkonstitusi.go.id”
4)
”http://www.hukumonline.com.”
[1] Lihat Moh. Kosnoe, ”Hukum Adat sebagai suatu model hukum”,
1992 Bandung hal 1-3.
[2] Berbeda dengan ilmu Hukum Adat Modern
yaitu yang tidak memperhatikan segi ajaran Adat, tetapi menekankan
pengetahuannya kepada bahan-bahan empiris yang terdapat di dalam praktek yang
berupa dalam kasus-kasus konkret. Bahan-bahan empiris sedemikian diolah menurut
teori pengolahan Barat sehingga akhirnya mencapai suatu kesimpulan yang menurut
ukuran teori Barat dapat diterima. Dari itu kemudian disusun ilmu pengetahuan
yang modern tentang Hukum Adat.
[3] Lihat Moh. Kosnoe, ”Hukum Adat sebagai suatu model hukum”,
1992 Bandung hal 7-10.
[4] Lihat Soerjono Soekanto “Hukum Adat Indonesia”, 1983 Jakarta hal
125 - 126
[5] Lihat Moh. Kosnoe, ”Hukum Adat sebagai suatu model hukum”,
1992 Bandung hal 10 - 14.
[6] Pasal 5 Undang-Undang
Pokok Agraria No. 1/1960
[7] Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara No. II/1960 Lampiran III A bidang Pemerintahan dan
Keamanan/Pertahanan No. 35.
[8] Lihat Moh. Kosnoe, ”Hukum Adat sebagai suatu model hukum”,
1992 Bandung hal 20-23.
[9] Dikutip dari ”http//:www.hukumonline.com”.
[10] Periksa isi teks lengkap “Keputusan
Kongres Pemuda Indonesia tahun 1928” dalam lampiran.
[11] Dikutip dari ”http://www.mahkamahkonstitusi.go.id”
[12] Lihat Soerjono Soekanto “Hukum Adat Indonesia”, 1983 Jakarta hal
378.